Di Organisasi Ini, Tidak Ada Represi

Di Organisasi Ini, Tidak Ada Represi


Seperti biasanya, aku cium cangkir berisi kopi kenangan yang istiqomah aku cumbu setiap malam bak lelaki setia yang selalu menemani ku menunggu fajar hanya sekedar melihat senyum jingganya. Bagiku kopi adalah lelaki yang selalu aku nikmati tubuhnya. Konon, barangsiapa yang menghidupkan malamnya dengan secangkir kopi akan disiapkan istana diakhirat nanti. aku penikmat kopi dan fajar, dengan kopi aku belajar bahwa didalam pahitnya aku merasakan kebijakan pemerintah yang membuat jiwa jiwa masyarakatnya menjadi melankolis. Dengan fajar aku belajar awal mula keindahan. warnanya, kehangatannya, penghidupannya, bukankah nabi adam bersujud syukur karna bumi ini terang dan bisa bertemu ibu hawa.

Nama ku laila, aku adalah aktivis organisasi yang berasaskan puisi, tentu tujuan organisasiku adalah terbentuknya pribadi yang setia terhadap dirinya sendiri, membenci kaum penguasa yang tidak amanah terhadap kalimatnya, meneruskan cita cita penyair penyair terdahulu yang belum selesai dengan tulisannya sendiri. Jangan salah kira bahwa organisasiku mendidik karakter pembenci, kami penyayang semesta, yang kami benci adalah kalimat manusia yang tidak sesuai dengan amaliahnya. Bukankah dalam surat As Shof mengingatkan manusia bahwa dosa besar di sisi Tuhan adalah barangsiapa yang berkata tapi tidak melakukan.

Pernah satu waktu pemimpin organisasiku menuntut pemerintah terkait 'penyakit kata' yang dialami oleh perindu amatiran di kota kami. "Perindu macam apa yang bilang kangen ketika jauh tapi waktu bertemu malah HP an melulu, ini jelas merusak diksi dalam esensi puisi kita, seharusnya pemerintah membuat regulasi perihal ini. Minimal ada lah undang undang yang mengatur bagaimana cara merindu yang baik dan benar" luapan emosi Albezt Munir dalam khalaqoh yang diadakan malam ahad rutin

Terpilihnya Albezt Munir sebagai ketua umum mandataris memang menuai pro kontra, di lain sisi ia otoriter dalam menentukan sikap, di sisi lain ia pribadi kutu buku dari Niccolo Macciaveli sampai sapardi dilahap habis olehnya. Sebagai kadernya aku diposisi pro terhadap kepemimpinannya, kalimat dia yang setiap malam aku buat selimut tidurku "pembaca itu berdealektika terhadap buku, bukan mengangguk atasnya" mungkin itu yang membuat aku jatuh hati kepadanya. Iya, tresno jalaran soko kulino. minimal aku sedang mencintai imajinasi, ia lelaki tinggi itu, lelaki berintelektual itu mempunyai dada tapi kehilangan hatinya. Entalah, sampai sekarang aku penasaran, perempuan seperti apa yang membuat lelaki yang aku cinta itu membuat hatinya patah berkali kali, membuat malamnya hanya untuk merayakan sepi.

"Kita harus menentukan sikap untuk turun ke jalan, bagaimanapun penyakit ini tidak boleh dibiarkan, pemerintah fardu ain tegas dalam hal ini, harus ada vaksin yang dapat menyembuhkan penyakit perindu amatiran ini, ini menyangkut masa depan negara kita, ini menyangkut pemuda pemuda kita" lanjutnya ketika memantik khalaqoh

Kali ini aku negasi terhadap statemennya, "Mohon maaf ketua" selaku dengan nada lembut dan sedikit aku manjakan.

"Walaupun dalam dealektika tidak baik menyerang subjektif, tapi ini harus saya sampaikan" seruku dengan memandangi lekat-lekat wajahnya

"Sampeyan menarasikan apa yang tidak sampeyan lakukan, jelas organisasi kita melaknat perbuatan hal demikian"

"Maksudnya?" tanya Albezt munir sambil padangannya diarahkan ke bawah

"Kita membela tangkapan hati yang didapat dari objek toh, jangan membela orang lain dulu sebelum sampean sendiri membela hati sampean" intonasi suaraku sedikit ku tekan

"Sebentar, ini diskusi apa ungkapan hati sih" kata Aisyah menyeletuk

Iya, Aisyah perempuan sejawatku. Cantik, ahli ibadah, pembaca, wajahnya glowing. Hipotesaku saat ini, aku dan Aisyah sama sama menaruh hati pada satu lelaki

"Ini, forum diskusi apa forum keluarga sih..? Perihal urusan dapur rumah tangga jangan lah dibawa bawa ke forum ini. Ayo lah kita dewasa dikit" Afirmasi maulana meluruskan arah pembicaraan,

Lana laqobnya, sekretaris Albezt Munir. Kalau boleh dikorporasikan lana lebih ganteng dari Albezt Munir, lulusan pondok pesantren, pintar berdalil, faham agama, gerak geriknya menunjukan dia suka dengan ku, tapi entalah. Tulang rusuk ini agaknya tidak sedang bermuara dihatinya. Pernah waktu kegiatan mapala ia berniat mengungkapkan perasaannya dipuncak maha meru.

"Laila, ini kopi" tawarnya

"Iya, terimakasih mas" balasku

"Laila, sudah lama ya kita jalan bersama, mendaki bersama, suka kopi yang sama, sebenarnya, semenjak kita bertemu, aku sudah..."

"Bentar bentar mas, aku kebelet pipis" aku memutus kelanjutan kalimatnya,

Hati memang sangat jujur, aku sudah membaca geraknya pasti ini motif nembak menembak, kata hatiku "kalimat mana yang bisa mewakili perasaan, semua kalimat laki-laki itu nonsens" hehe, atau jangan jangan itu hanya alibiku untuk tidak tega mulut ini mengungkapkan kata penolakan. haha, bagaimanapun aku tidak mau menyakiti hati lana

Waktu kegiatan khalaqoh semakin malam, jam menunjukan pukul 00.25. Albezt Munir yang terbawa suasana diskusi, reduksi jiwa-jiwa otoiternya muncul kepermukaan

"Kita kumpul disini membahas isu hangat yang ada dikota kita, bukan membahas personal, berdealektika itu argumentatif bukan menyerang subjektif. Sudahlah apa yang aku pilih menjalani hidup saat ini dengan pobia perempuan, itu adalah idealisku. setiap kepala mempunyai masa lalu, saya yakin diforum ini pun sama. Tolong hargai apa yang aku pilih, ini persoalan genting, sampean sampean terima tidak jika setiap kalimat itu diperkosa olah pembicaranya..? logika mana yang menerima itu. Jelas, penyakit ini menular kemana mana. Mulai dari anak SD yang tertular, sampai pejabat pun mengalami dan melakukan. ini tanggung jawab kita bersama"

disetiap forum-forum diskusi akulah satu satunya perempuan yang selalu mencari antitesis dari tesis ketua umum itu, entah karna sebab aku cari perhatian atau memang benar-benar aku cari perhatian.. haha,

"Jelas bahwa, organisasi kita tidak menerima kalimat-kalimat yang tidak sesuai hati dan perbuatannya, adilah sejak dalam hati apalagi perbuatan. perihal isu yang kita kaji malam ini saya sangat tidak sepakat dengan argument sampean tum" sangkalku lagi

"Baik, jika laila tidak sepakat untuk mengawal isu ini, sebab jalan hidup yang aku pilih. dengan keikhlasan hati aku persilahkan untuk keluar dari organisasi ini" Tegasnya. suara Albezt Munir membuat tegang suasana forum malam ini

"Baik, malam ini juga aku keluar" jawabku dengan penuh emosi

Seminggu setelah aku keluar dari organisasi, aku mendengar kabar bahwa pimpinan organisasi menghilang sebab aksi turun jalan di kantor DPRD kota, media media meng Up berita ini, mulai dari koran bahkan sampai televisi. Entalah, setelah kejadian malam itu aku memang diskomunikasi dan memutus silaturahmi dengan organisasi.

Begitulah resiko menyuarakan diksi, membela kalimat yang bagi kami wajib tidak ada pemanis, tidak ada kebohongan. semua apa yang diucapkan harus benar dan sesuai dengan perbuatan

Perempuan mana yang tidak sedih jika lelaki yang ia cintai menghilang, entah mati atau dimutilasi, atau apapun kondisi itu. Yang jelas, untuk saat ini hanya bayangnya yang aku lihat di setiap mata memandang

Satu bulan kemudian setelah Albezt Munir masih belum bisa ditemukan, mati ataupun hidup tidak ada kejelasan. Pihak wewenang pun tidak bisa menyelesaikan kasus ini, aku memberanikan diri memulai aktivitas seperti biasa. kuliah, nongkrong, satu bulan ku habiskan hanya dengan mengurung diri di kamar terlihat jelas perbedaan suasana-suasana ditempat perkumpulan. entah itu tempat menyeruput kopi, tempat sharing, tempat-tempat intelektual. Kini tidak ada keramaian adu argument, tidak ada tangan-tangan yang menuding hanya untuk memperkuat argument. Semua perkumpulan sibuk dengan dunianya sendiri, pemuda penunduk. Main HP ketawa ketawa sendiri, main game, sibuk posting status, dan kesibukan-kesibukan lainya yang mendistorsi esensi perkumpulan.

Aku amati sudut demi sudut dari setiap tempat, pemuda yang menikmati kopi dengan pasangannya, memalingkan bibirnya dari cangkir kopi itu, memalingkan pasangan didepannya, semua sama sibuk dengan dunia sendiri, dunia kecilnya.. sekali ngobrol, semua adalah kalimat bohong, hanya pemanis agar terlihat pantas saja didengar lawan bicaranya.

Aku terdidik dalam organisasi untuk hanya setia pada diri sendiri, tapi bagaimana mungkin sedang dalam diriku ada Albezt munir. kalaupun dia ditemukan dalam keadaan mati, aku pun bersedia menikah dengan arwahnya, hehe.. kalaupun itu bisa

"laila..." jelas suara khas itu sangat aku hafal, terdengar berbisik ditelinga kananku,

kelanjutan kalimatnya membuat aku senyum-senyum sendiri ditempat keramaian, padahal tidak asyik dengan dunia sendiri, tidak sibuk dengan apa pun, tidak penunduk.

"AKU MENCINTAIMU" lanjutnya.

Bersambung.......

Penulis: Ilyas Maulana zidani (Kabid 1 PK PMII Shalahuddin)

You may like these posts