Manusia, Si Pemerkosa Alam

Manusia, Si Pemerkosa Alam


Nama yang pantas untuk disematkan.

Setidaknya. Ada puluhan keluarga yang harus di relokasi. Adanya penambangan batubara, di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Kita tak usah menutup mata, akan hal itu. Desa Mulawarman, desa Embalut, Bangun Rejo, Manunggal Jaya, Sanga-sanga, Loa duri dan masih banyak lagi tempat yang perlu kita lihat.

Ditambah lagi, jika kita melihat relokasi yang tidak strategis. Mengakibatkan, warga yang pindah meninggali tempat kawasan hutan lindung. Pun ikut berdampak pada alam sekitar. Seperti patalogi sosial. Jika, dari awal sudah bermasalah dan menyebabkan dampak yang cukup buruk. Maka, apapun yang dilakukan pun diakhiri dengan Bad ending .

Tingkat penganut antroposentrisme. Sangat tinggi di kepulauan borneo. Jangan heran, apabila para turis atau warga luar kota. Miris, melihat banyaknya bekas-bekas pornografi diatas langit. Yaps, tanah-tanah di daratan Kaltim semuanya Bolong. Ditinggalkan tanpa ada reklamasi atau restorasi. Sikap kerakusan sebagian manusia terlihat disini.

Alam pun merasa malu. Merasa hina. Ditelanjangi, di gerayangi, bahkan disentuh tubuhnya kepada korporasi-korporasi gelap. Mirisnya lagi, dibagi berdasarkan kenyamanan yang diperoleh dari alam. Dibagi kepada korporasi yang antri menunggu keelokan tubuh Si alam Borneo.

Baiklah, mari sekarang kita berbicara mengenai data dengan serius. Simak!

Karena kita membedah hipotesa kutukan Sumber daya Alam kepada Manusia yang Dzalim

Kita awali dengan berbicara mengenai data pembangunan Kukar sebagai produsen batu bara terbesar di Kaltim. Menunjukkan kontribusi pertambangan bagi Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) sepanjang 2011-2015 rata-rata 78,8 persen (RPJMD 2016-2021).

Produksi batu bara dimaksudkan meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Agar dapat membiayai sejumlah proyek pembangunan.

Namun sebagaimana tercermin dalam Indeks Eksploitasi Ekonomi (IKE), kekayaan alam belum mampu dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat meski Kukar memiliki IKE yang tinggi selama 2015-2017.

Indeks ini menunjukkan, “eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah atau investor yang diestimasi dengan membandingkan PDRB per kapita dengan pengeluaran konsumsi per kapita. IKE dalam tiga tahun terakhir sebesar 99 persen. Artinya setiap PDRB naik sebesar 100 persen, proporsi yang dinikmati rakyat Kukar hanya 1 persen. Hal ini berarti juga menunjukkan, income gap antara kaya dan miskin sangat tinggi. Yang berdampak timbulnya rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial antar masyarakat.

Menurut Kuncoro (2010), justru Kaltim termasuk provinsi yang mengalami pertumbuhan tanpa pembangunan. Tingginya IKE membawa implikasi kasus sosial dan lingkungan pada kabupaten produsen batu bara ini.

Beberapa temuan di antaranya: BPS Kaltim mencatat penduduk miskin terbesar berada di Kukar sebanyak 55.820 jiwa atau 26,21 persen dari total penduduk miskin di Kaltim pada 2016; Dinas Kesehatan Kaltim mencatat, Kukar penyumbang terbesar Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak 32 Kasus dari total 240 per 100, dan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kukar mencatat hutang biaya pembangunan pada 2017 kepada kontraktor mencapai 245 miliar.

Selain itu, Jatam mencatat ada 1.735 lubang tambang tanpa reklamasi dan terbesar 842 berada di Kukar. Jumlah korban tenggelam pada lubang tambang sepanjang 2011-2019 sebanyak 35 jiwa. Sebanyak 12 kasus terjadi di Kukar; Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 16.385 orang terdampak banjir dan longsor di Kukar yang terjadi selama 5-11 Juni 2019; Aktivitas tambang dekat pemukiman di Kecamatan Loa Janan menyebabkan jalan nasional penghubung Kota Tenggarong dan Kota Balikpapan longsor. Jalan umum penghubung Kecamatan Sanga-Sanga dan Muara Jawa longsor beserta 11 rumah warga berikut 41 jiwa mengungsi, dan aktivitas pertambangan di Desa Mulawarman oleh PT KPUC dan JMB menyebabkan 3.000 jiwa direlokasi. Aktivitas tambang tersebut menghilangkan sumber air dan mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian. Dari 526 hektare sawah menjadi 12 hektare.

Kajian lain menguatkan hal tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Atas dampak kegiatan pertambangan pada 2013. Sebagaimana dimuat laman media nasional pada 2016, mengungkapkan, kerugian yang dialami akibat pertambangan di sejumlah daerah mencapai ribuan triliun.

Khusus Kukar, nilai kerugiannya mencapai Rp 581,43 triliun. Net Present Value (NPV) natural capital di Kukar lebih besar. Yaitu Rp 990,19 triliun. Dibandingkan NPV operasional pertambangan yang hanya Rp 408,75 triliun. Hal itu berarti, ada selisih minus ratusan triliun di Kukar yang dianggap sebagai kerugian besar bagi lingkungan, kesehatan masyarakat sekitar, serta kerusakan sosial dan ekonomi.

KUTUKAN .

Dampak Sumber Daya Alam (SDA) dan pengaruhnya terhadap pengembangan finansial telah menjadi bidang penelitian penting dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa peneliti mencoba untuk menguji hipotesis “kutukan SDA”. Zhang, dkk (2020) dalam Journal Resources Policy menggunakan data Tiongkok untuk periode 1987-2017. Mereka menghasilkan temuan menarik. Produksi SDA mempengaruhi perkembangan finansial secara negatif. Setiap peningkatan 1 persen produksi SDA justru menghambat pengembangan finansial sebesar 0,10 persen-0,21 persen. Temuan ini menegaskan hipotesis adanya kutukan SDA.

Riset ini juga menemukan variabel pengonversi agar korelasi produksi SDA bernilai positif terhadap pengembangan finansial. Yaitu setiap peningkatan produksi SDA

Pentingnya perbaikan tata kelola pertambangan yang transparan telah diupayakan oleh pemerintah dan koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Dengan diterbitkannya laporan penataan perizinan pertambangan pada 2017 bersama Publish What You Pay Indonesia (Yayasan Transparansi Sumber Daya Ekstraktif). Korsup Minerba Deputi Pencegahan KPK merupakan bagian dari gerakan nasional penyelamatan SDA (GN-SDA). Ini merupakan trigger mechanism KPK untuk mencegah tindak pidana korupsi dan kerugian negara, serta mendorong perbaikan tata kelola yang lebih baik di sektor pertambangan.

Pemerintah pusat dan Korsup Minerba KPK menghimpun data IUP tambang pasca booming izin (awal desentralisasi 750 izin pada 2001 menjadi sekitar 10 ribu lebih di 2010). Mekanisme rekonsiliasi IUP pada 2011 dengan mengategorikan izin menjadi Clean and Clear (CnC) dan Non-CnC.

Sejak 2014 hingga April 2017, Korsup berhasil mencabut 776 izin tambang batu bara berstatus Non-CnC. Dalam tahap eksplorasi. IUP batu bara tersisa hingga April 2017 mencapai 2.966 IUP. Luasan IUP yang dicabut mencapai 3,56 juta hektare. Sehingga setelah adanya Korsup Minerba KPK, total IUP mencapai sekitar 12,6 juta hektar (per 30 Januari 2017). Konsesi batu bara di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung dilaporkan mencapai 940,4 ribu atau 15 persen dari luasan konsesi minerba di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

Penulis: Sahabat Topan Setiawan (Wakil Ketua II Eksternal PC PMII Samarinda)

You may like these posts