Cinta Dalam Bingkai Rupa

Cinta Dalam Bingkai Rupa


Menurutku hidup itu keras. Jika aku tidak bisa mempermainkan hidup, maka hiduplah yang akan mempermainkan aku. Bagaimana menurut kalian dengan dunia pertemanan? Jangan kira dunia pertemanan itu indah, justru dunia ini yang membawamu kepada liang duka. Sebuah keniscayaan tentang ‘teman dekat’ hanyalah fatamorgana. Tak ada yang abadi, tak ada yang setia dan tak ada yang sedekat nadi di dunia ini. Semua hanya malapetaka. Hanya omong belaka.

Otakku masih memutar memori-memori hina yang dilakukannya. percaya ataupun tidak. Hasilnya sama. Ia mengkhianati ucapannya sendiri. Sia-sia aku percayakan kisah hidupku kepadanya. Sia-sia aku korbankan segala keputusan hanya untuk mempercayainya. Haaa... tak ada yang memberi suka. Aku kecewa dengan menyandang gelar lara. 

“Kenapa?”, tanya adi, kakak laki-lakiku berteriak dari arah dapur melihat diriku pulang dengan nafas terengah-engah menuju kamar bertirai coklat. 

Segera aku tenggelamkan wajahku kepada tumpukkan bantal yang sama sekali tidak seperti bantal hotel. Aku merasakan ada aura-aura yang sedang menatapku. Terlihat ibuku yang berusaha menyelinap bersembunyi sekedar untuk melihat diriku dibalik tirai coklat. Ahh.. hangat sekali tatapan itu. Namun, tak aku gubris. Saat ini aku hanya butuh ketenangan dan kesunyian. Aku biarkan jiwaku berteman dengan kesendirian. Dan aku pun mengarungi lamunan bisu. 

“Katamu kita bagaikan dua sayapnya burung. Jika ada satu yang patah, maka tak bisalah burung itu terbang. Tapi kenapa kau berani lukai? Aku tau berteman layaknya dunia fiksi yang pastinya dihiasi dengan kontradiksi”, tanyaku dalam hati mengingat ucapannya kala itu. 

Setiap aku melihat sigaret, aku pasti teringat dengan wajah yang terpahat begitu sempurna. Asap yang mengebul-ebul selalu menghalangiku untuk menatap wajah indah itu. 

“Begitu menawannya dirimu mas”, bisik hatiku membayangkan dia lagi.

Aku berharap agar rasa ini tidak hilang. Namun, melihat senyummu yang mulai tidak merekah seperti dulu dan aura nyamanmu yang mulai menghilang dariku, membuatku tersadar atas pahitnya jantung yang tak lagi mulai berdebar. Ragamu ada, namun jiwamu menghilang ditiup topan. Aku merindukanmu yang dulu mas, namun aku tak mampu mengucapkan jutaan kata yang telah membeku. Aku takut. Entah biarlah alunan-alunan nada hidup yang nantinya akan berbisik pada telingamu, bahwa betapa aku menyukaimu. 

Pernah suatu waktu ia mengatakan, “kadang aku geli dengan dandanan wanita, mereka pikir dengan berwajah glow up bisa terlihat cantik”. Sedikit dengan tawa mengejek. Bagaimana bisa ia mengatakan seperti itu, tak pernahkah ia berfikir bahwa aku berdandan ini demi terlihat cantik di depannya. Bukankah perempuan di masa kini memang berlomba-lomba mempercantik diri untuk memperebutkan hati sang pria? Dengan berwajah cantik dan dilirik pria, tahta mereka bisa terangkat. Sudah lama hukum kasat mata itu berwujud nyata. Sejak dunia ini bersistem berdiri dengan raja. Siapa wanita yang cantik, bisa dijadikan selir raja, bahkan hingga waktunya tiba, selir itu terangkat menjadi permaisuri. Haha .. dunia ini penuh dengan lelucon.

“Jangan begitu mas, mereka punya cara sendiri untuk terlihat cantik.” 

“Apakah cantik itu dilihat dari wajah saja inayah? Bagaimana dengan akhlak?”

Aku membisu. Inilah yang kusebut ‘wanita tak pandai memahami pria’. 

“Tapi rata-rata pria memilih wajah yang cantik mas, terkadang sesekali aku kecewa, mengapa di dunia ini ada sebutan cantik”, aku tertunduk lesu.

Ada setiap kata yang sebenarnya tidak aku setujui hadirnya di dunia ini. Sebab kata itu hanya menimbulkan sebuah luka. Aku benci kata “cantik”, hadirnya hanya membuat kaum wanita tidak waras termasuk aku. 
Setiap yang cantik, setiap yang berakhlak, dan setiap yang cerdas. Apakah itu yang diidam-idamkan lelaki? Tolong lelaki jawablah pertanyaan yang terngiang-ngiang ini. Tegakah kau melihat aku mencekik takdirku sendiri? Dengan wajah dan tubuh yang serba pas-pasan ini, otak yang biasa saja dan akhlak yang amburadul ini. Sedangkan, lelaki yang kuiinginkan begitu menawan rupanya, akhlaknya, dan otaknya dikalangan manusia se-usianya. 

Matahari mulai berada tepat di atas kepala. Terlihat ibu penjual gorengan yang setiap harinya melintas di depan kompleks rumahku. Wajahnya begitu lusuh, kulitnya pun yang mulai mengeriput, namun tidak dengan semangatnya yang begitu membara. Namanya Ibu Suming yang memiliki panggilan akrab Bu Ming. Dengan suara yang begitu nyaring namun terdengar serak itu, ia menjajahkan makanannya yang ia bawa. Penghasilannya pun tak seberapa jika di hitung-hitung. Namun, ia tetap mensyukuri yang telah sang kuasa takdirkan untuknya. Mendengar dari kebanyakan orang tentang kisah bu sum ini sangat mengaharukan. Bagaimana tidak? Ia setiap harinya berkeliling dengan membawa nampan dari kayu yang di dalamnya berisi gorengan dan disuwun di atas kepala itu. Ternyata mempunyai kisah yang sangat menyedihkan dan menjadi sumber inspiratif bagiku. Ia harus menanggung beban keluarga sendirian. Suaminya yang mengalami stroke pun sudah tak bisa diandalkan lagi. Begitupun dengan dua anaknya yang masih mengenyam pendidikan sekolah menegah atas dan masih belum bekerja. 

“Bu Ming wanita kuat ya”. 
Bu Ming tersenyum sembari memindahkan weci dari nampan untuk dimasukkan ke kresek hitam. 
“Menjadi perempuan harus kuat nak, harus mandiri”. 
“Cantik saja tidak cukup kalau tidak pintar dan berakhlak”. 
Auu.. Ucapan Bu Ming terasa memutar kembali kata-kata Mas Imran. 

Setiap yang terucap dari bibir Mas Imran, aku selalu mengiyakannya. Mencintai Mas Imran begitu menyenangkan, tetapi mungkin harus membisu hingga akhir zaman. Sebenarnya aku sudah menduga bahwa ia tau aku menyukainya, namun ia tak menunjukkannya. Setiap hendak bertemu dengan Mas Imran, aku bersolek secantik mungkin dengan pakaian serapih dan seindah mungkin agar Mas Imran tetap nyaman memandangku, walaupun hanya sebatas teman dekat. 

“Mas, nunggu siapa?”, tanyaku sambil menirukan gaya Mas Imran yang celingak-celingukan. 
“Nunggu seseorang inayah”, Mas Imran tidak pernah menjawab dengan kalimat singkat ketika ditanya, itu juga salah satu dari yang ku suka darinya. 
“Ouhh”.

Beberapa saat kemudian terlihat sosok perempuan cantik nan manis melintas hendak ke arahku dan Mas Imran. Tubuhnya yang ramping bak sosialita dan postur wajahnya yang bersolek tipis namun mempesona dan membangkitkan aura yang begitu sempurna. Seketika... Degg!. Jantungku seperti berhenti berdetak, rasanya tak ingin aku berada di dunia ini. Dengan mata telanjang aku melihat perempuan itu bergelayut manja kepada Mas Imran. Rasanya ingin aku menampar wanita jalang itu dan merobek-robek mulutnya yang sok manis, padahal centil.

Anehnya jiwaku marah, namun bibirku pura-pura tersenyum sambil bergumam dengan diri sendiri, “siapa perempuan itu? Mengapa Mas Imran begitu bahagia di dekat perempuan itu?” 
Perempuan itu melepas tangannya yang melingkar di pundak Mas Imran, lalu menoleh ke arahku. Ia mengulurkan tangan kanannya ke arahku.
“Mayang”, sapanya dengan tersenyum.
“Inayah”. 

Sesaat kemudian, dunia terasa hanya dihuni dua makhluk sejoli ini. Canda dan tawa terasa lucu bagi mereka, namun tidak bagiku. Begitu pun dengan Mas Imran yang tidak mengggubrisku sama sekali. Sangat terlihat jelas Mas Imran hanya berbincang-bincang dengan wanita itu serta memanjakannya. Kalau memang tujuannya hanya dengan perempuan itu, lalu mengapa mengajakku? Untuk menonton kemesraannya? Sungguh memuakkan pemandangan di caffe ini. 

“Mas Imran.” 
“Iya ada apa Inayah?”
“Aku pulang dulu yah, disuruh pulang sama ibu.”
“Oh iya inayah, hati-hati dijalan.” 

“Mengapa tidak menghubungiku sama sekali Inayah?”, tanya Mas Imran melalui pesan WhatsaApp. 
Sengaja aku balas agak lambat. 
“Tidak papa mas”.
“Kamu marah?” 
“Hmm”, jawabku singkat 
“Kenapa?”
“Menurut Mas Imran?”
“Kamu cemburu dengan Mayang.” 
“Tidak, siapanya Mas Imran mayang itu?” 
“Calon pacar.” 
“Menurut Mas Imran, Mayang berakhlak atau tidak?.” 
“Menurut Inayah sendiri”, tanya Mas Imran balik. 
“Tidak.”
“Kenapa?” 
“Jelaslah dia tidak berakhlak, di depan umum dengan seenaknya ia memeluk Mas Imran dengan manja”.
“Iya kamu benar Inayah. Tapi aku suka gayanya dan wajahnya yang cantik.”
“Mas Imran makan omongan sendiri.” 
“Cantik itu perlu Inayah, soal akhlak dan kepintaran bisa dibenahi.” 
“Terserah Mas Imran.” 

Komitmen. Jangan membahas tentang komitmen, apalagi berikrar atas nama komitmen. Komitmen bisa berubah kapan saja. 

Karya: Agustin (Kader PK PMII Sapu Jagad Pasuruan)

You may like these posts