Progresif! Kader PMII Samarinda Serukan Penolakan Kekerasan Perempuan Dunia

Progresif! Kader PMII Samarinda Serukan Penolakan Kekerasan Perempuan Dunia


TIMESPERGERAKAN.COM, SAMARINDA -  Satu diantara Kader Terbaik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Samarinda, lagi-lagi kembali menyerukan penolakannya terhadap kekerasan perempuan. Pada Aksi Kamisan Rutinan, di depan kantor Gubernur Provinsi Kaltim, Kamis (04/03) kemarin. 

Kekerasan terhadap perempuan dan anak, Kaltim merupakan yang tertinggi di Kalimantan. Setidaknya dari pendataan aplikasi Sistem Informasi Pencatatan dan Pelaporan Kasus Kekerasan (Simfoni). Hanya dalam kurun waktu delapan bulan pada tahun 2020 lalu, tercatat 262 kasus kekerasan perempuan dan anak di Benua Etam.

Menurut data aplikasi rintisan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tersebut, 112 di antara kasus kekerasan itu adalah kasus kekerasan seksual. Data menunjukkan, dari 173 kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak (0-17 tahun), 60 persen di antaranya usia remaja, 13-17 tahun.

Yang lebih mengenaskan, jumlah kasus maupun jumlah korban tertinggi tidak berasal dari lingkungan asing. Melainkan terjadi di lingkungan rumah tangga.

Melihat realitas tersebut, satu diantara kader PMII Komisariat IAIN Cabang Kota Samarinda, pun tergerak menyerukan penindasan perempuan. Mereka juga tergabung dalam kelompok keilmuan kaderisasi PMII Yakni, Suluk Pergerakan. Antara lain, Sahabat Wili Andika Rohman, sahabat Windy Irawan Ady, Deri Ilham, Reza Pahlevi, Uswatun Hasanah, Fazilahnur sebagai perwakilan PMII Komisariat IAIN dan Bukhori PMII Komisariat Unmul. 

Dalam penampilannya, Windy menyerukan, monolog Doa seorang pelacur dalam buku Antologi puisi potret hitam putih.

"Aku Ingin Berdoa ,tapi tak persis sama dengan doa yang diajarkan guru-guruku......." ucap Windy membacakan Antologi Puisi.

Dia merasa pelaku kekerasan seksual yang kebanyakan orang terdekat korban adalah masuk akal. Rentetan variabelnya dimulai dari kehidupan yang sangat patriarkis. Sistem sosial ini menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi berbagai peran di kehidupan.

Di keluarga, sosok ayah cenderung memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak, dan harta benda.

Relasi kuasa ini ditambah pendidikan seks yang masih dianggap tabu. Serta minimnya kehadiran negara yang ia nilai jadi pemicu utama. Akibatnya, sambung dosen Sosiologi ini, kejadian pelecehan dan kekerasan cenderung berulang dan korban tak berani melapor. 

“Bahkan, kalau melapor pun, sulit mendapat keadilan hukum dan dukungan lingkungan sosial,” katanya.

Di tempat yang sama, Uswatun Hasanah, menyampaikan tren kekerasan seksual terhadap anak di Kaltim tidak pernah kurang dari 100 kasus per tahun. Umumnya terjadi di lingkungan korban. Yakni keluarga.

"Hal ini menandakan bahwa diperlukan sosialisasi dan metode perlindungan anak yang lebih efektif di Kalimantan Timur," kata Uswah. Sapaan akrabnya. Kamis (05/03) sore. 

Ditempat yang sama, Reza Pahlevi juga ikut berpendapat bahwa Dibutuhkan peningkatan kesadaran masyarakat bahwa melindungi anak adalah tanggung jawab moral seluruh individu. Sebagai contoh, masyarakat sekitar seperti tetangga maupun guru di sekolah pun harus sadar bahwa mereka wajib melindungi dan melapor apabila melihat tindak kekerasan seksual di sekitar mereka.

“Dengan meningkatnya empati dan keterikatan lingkungan terdekat, secara naluriah akan timbul kepedulian untuk saling menjaga,” tutupnya.

Pewarta : Topan Setiawan, Editor: Yakin

You may like these posts