Membela Kemanusiaan: Memahami Konflik Israel dan Palestina

Membela Kemanusiaan: Memahami Konflik Israel dan Palestina


Penulis: Sahabat Rahmat (Ketua Rayon PMII Rayon FEBI Komisariat UIN Alauddin Makassar Cabang Makassar)

Saat ini kita sedang dipertontonkan konflik berkepanjangan, antara Israel dan Palestina yang sedang memanas, sebuah peristiwa kemanusiaan yang cukup memperihatinkan dalam kehidupan manusia. Secara menyeluruh konflik Israel dan Palestina bukan satu-satunya persoalan kemanusiaan yang hadir di tengah-tengah kehidupan manusia hari ini. Persoalan ini menarik perhatian khalayak ramai, ditandai dengan berbagai opini yang berkecamuk dini seluruh linimasa masyarakat dunia. Perang opini menghiasi berbagai topik pembicaraan mengenai perseteruan Palestina dan Israel, dengan berbagai posisi, ada yang memihak pada Israel, ada pula yang berpihak pada Palestina. 

Selain kedua posisi tersebut, ada pula kalangan yang mengambil kesempatan atas tragedi kemanusiaan ini, ada yang merespon karena kepentingan politiknya, ada yang atas dasar eksistensi. Akan tetapi, ada pula yang tetap berjuang atas nama kemanusiaan itu sendiri. Hal itu dapat kita analisa dari banyaknya asumsi dan opini yang menyertai tragedi kemanusiaan hari ini. Banyaknya asumsi beredar di masyarakat menunjukkan pemahaman, bahwa konflik antara Palestina dan Israel merupakan perang antara agama yaitu Islam dan Yahudi.
Benarkah demikian? Apakah memang Israel melakukan penyerangan terhadap karena Palestina karena mayoritas masyarakatnya muslim? Apakah memang mereka yang berada disisi Palestina sedang berjuang atas nama agama? Dan terpenting apakah semua yang mendukung Palestina berjuang karena kemanusiaan?

Semua pertanyaan itu perlu kita jawab secara seksama dari berbagai aspek agar mampu mendudukkan persoalan antara Palestina dan Israel, agar bisa menempatkan dimana keberpihakan serta memahami harus seperti apa gerakan yang harus ditempuh dalam perseteruan panjang ini.

[Historis Lahirnya Israel dan Motif Penyerangannya kepada Palestina]

Secara kajian literatur dapat kita pahami bahwa perang dunia selalu menimbulkan luka panjang, termasuk pembuangan salah satu kelompok. Salah satu yang menjadi korban tersebut ialah kaum Yahudi, setelah berkelana diberbagai tempat dibelahan Eropa timur sejak pengusirannya dari bangsa Arab (lebih lanjutnya simak dalam Hipotesa : bagaimana bangsa Israel bisa ada) mereka harus merasakan diskriminasi terutama saat pihak Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler mengeluarkan ultimatum untuk membumi hanguskan bangsa Yahudi memperburuk kondisi dari kaum Yahudi dimana pun mereka berada. Dari kondisi ini, melahirkan gerakan salah seorang politikus kaum Yahudi yaitu Hertz untuk mendirikan negara tersendiri bagi kaum Yahudi agar dapat terhindar dari perilaku diskriminatif bangsa lain. Gerakan ini mendapat hambatan besar-besaran dari berbagai pihak, termasuk gerakan koalisi Hertz mendukung pemerintahan Inggris menduduki Palestina, agar nantinya diberi tanah untuk dijadikan sebuah negara, walaupun pada akhirnya tidak kunjung diberikan oleh pemerintah Inggris akibat pergejolakan yang sulit ditangani oleh Inggris. Setelah kematian Hertz, gerakan mendirikan negara khusus bangsa kaum Yahudi semakin gencar dilakukan dan akhirnya diperoleh lewat gerakan politik di tanah Palestina setelah menolak pemberian tanah di Ghana oleh pihak sekutunya. Dimana, pendirian negara bangsa Yahudi diperoleh dengan semangat memperoleh hak kemanusiaannya yang hilang akibat dari perpecahan antar negara berkepentingan. Mulai dari situ, gerakan perebutan Palestina intens terjadi, penembakan rudal, pemboman, penembakan, dan tindakan represif lainnya rajin mendatangi masyarakat Palestina.

[Membela Palestina Ialah Pembelaan Terhadap Kemanusiaan]

Mengkritisi asumsi bahwa pertikaian antara bangsa Israel dan Palestina adalah perang antar agama merupakan suatu asumsi keliru, jelas dari aspek historis bahwa penyerangan Palestina bukan karena mereka muslim, tapi karena ingin melakukan perebutan lahan yang mereka klaim sebagai tanah nenek moyang mereka. Persetujuan panjang ini adalah perseteruan tanah tinggal, di mana mereka sama-sama mengklaim berhak atas tanah tersebut. Jika rutinitas opini yang tergiring adalah perseturuan agama, maka akan melahirkan kondisi yang jauh lebih rumit. Yahudi yang berangkat dari semangat kesamaan nasib bahwa mereka sama-sama ditindas karena agama mereka, karena keyakinan mereka akhirnya bergerak mendirikan kekuatan mereka walaupun dengan jalan menindas bangsa lain. Dalam artian posisi mereka pada saat itu sedang mendapatkan bencana kemanusiaan, akan tetapi penolakan terhadap mereka terjadi dimana-mana, termasuk di Palestina. Oleh karenanya, membela masyarakat Palestina tidak boleh sekedar dibawa pada aspek sempit seperti agama, tetapi dibawa pada satu aspek universal, yaitu kemanusiaan.

Tetap meneguhkan nilai-nilai kemanusiaanlah yang pada akhirnya harus dilakukan, nilai pergerakan yang kita harus lakukan demi membantu masyarakat Palestina adalah berbagai upaya kemanusiaan yang terbebas dari gerakan politik manapun kecuali politik kemanusiaan karena itulah yang terpenting. Persoalan bahwa masyarakat Palestina adalah mayoritas muslim bukan perkara fundamental, akan tetapi yang penting adalah mereka adalah korban kemanusiaan. Membawanya pada ranah sempit akan menghambat penyelesaian konflik kemanusiaan, kita harus belajar pada raja Habsyah yang menerima rombongan Nabi Muhammad Saw pada saat diburu kafir Quraisy, belajar pada bangsa Indonesia yang merebut kemerdekaan dengan persatuan atas nama kesamaan nasib apapun agama, ras, dan sukunya. Belajar membantu Palestina bukan karena alasan balas budi bahwa Palestina pernah membantu Indonesia akan tetapi karena murni persoalan kemanusiaan yang harus diselesaikan agar terciptanya kehidupan yang Rahmatan Lil alamin seperti yang dicita-citakan oleh agama Islam dan juga agama lainnya. Akhir kalimat, saya menutup dengan kalimat K.H Abdurrahman Wahid bahwa yang paling penting dari politik adalah kemanusiaan.

Editor: Ihza

You may like these posts