Ramadhan dan Idul Fitri

Ramadhan dan Idul Fitri


Penulis: Sahabat Yusran Haga (PC PMII Buton Sulawesi Tenggara)

Bulan suci Ramadhan sebentar lagi akan usai. Secara literasi, lembaran-lembaran sketsa konsep, teknis, dan praktik keagamaan perihal Ramadan, semacam diwajibkannya berpuasa serta dianjurkannya memperbanyak bersedekah dan amal-amal baik lainnya, telah usai.

Namun, esensi Ramadhan tak sebatas kalkulasi bulan tiga puluh hari. Pun puasa di dalam hakikatnya bukan sesederhana tidak makan dan minum. Dalam literatur agama Islam, puasa berarti _al-imsaku_ yang memiliki makna menahan. Menahan apa pun yang berimplikasi negatif pada diri sendiri dan sekitar, semisal menahan marah, menahan untuk tidak berprasangka buruk, dan lain-lain.

Puasa jelas ibadah yang sangat privatif. Hanya pelaku dan Tuhannya saja yang tahu. Keberadaannya tak lain mengajarkan diri sendiri untuk terus berintrospeksi dan berlatih "perang" melawan kehendak-kehendak diri yang cenderung lepas kontrol dihari-hari sebelumnya. 

Oleh karena itu, berpuasa tidak cukup terkalkulasi dalam angka. Puasa adalah titik awal melatih diri untuk terus lebih baik di bulan-bulan yang lain. Artinya, diterima tidaknya puasa Ramadan bergantung pada perilaku kita setelah bulan Ramadan. Puasa telah mengajarkan esensi kemanusiaan, menjelaskan kelemahan, keterbatasan, dan serba tak mampuan. 

Sebagai bentuk apresiasi terhadap keberhasilan melawan diri sendiri di bulan Ramadan, dalam tradisi Islam kemudian dirayakan dalam bentuk perayaan hari Raya Idulfitri. Inilah hari ketika agama memberikan gambaran bahwa umat muslim sudah menang melawan hawa nafsu dan kembali suci sebagaimana baru lahir. Oleh karena itu, tak jarang dijumpai di kalangan muslim tradisi silaturahmi ke seluruh saudara, kerabat, dan sahabat untuk maaf-maafan. Tradisi ini merupakan sebuah peleburan atas kesalahan-kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak, baik dalam kondisi salah maupun disalahi.

Selain maaf-maafan, dalam Islam juga dianjurkan untuk mengumandangkan takbir sebagai simbol kemenangan. Dalam bait-bait takbir itulah pemaknaan Idulfitri dapat dijelaskan secara mendalam. _Allahu akbar_ 'Allah Maha besar', artinya kita maha kecil, kita maha terbatas, kita maha-tidak-mampu. Oleh karena itu, kefitrian kita bukan merupakan sebuah kesempurnaan, melainkan penegas kembalinya keadaan untuk senantiasa memosisikan diri sebagai hamba yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan sedikit pun selain karena kuasa-Nya.

Dengan berkah puasa Ramadhan dan semangat Idul Fitri, harusnya kita senantiasa memupuk kekuatan diri kita untuk tidak melemahkan yang lain. Tiap kelebihan kita bukan untuk membantai yang kurang.

Pun Idul Fitri mengajarkan esensi kebijaksanaan dengan tidak mudah merasa paling benar dan menyalahkan yang lain serta melatih untuk terus merawat kefitrian dengan tindakan dari hasil berfikir yang mendalam dan hati-hati dalam menyikapi apa pun.

Esensi puasa dan Idulfitri bukan perkara ibadah yang bersifat fisik semata. Implikasi keduanya harus berwujud sebagai hasil asahan ibadah yang bersifat ruhaniah (ruh) yang mengarah pada revitalisasi sifat dan sikap ke arah yang lebih baik. Implikasinya harus berwujud pada perilaku diri untuk terus melindungi, merangkul, mengamankan, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Editor: Riyan

You may like these posts