Ekonomi dan Lingkungan Hidup dalam Pandangan Gus Dur

Ekonomi dan Lingkungan Hidup dalam Pandangan Gus Dur


Penulis: Sahabat Muhamad Rifa’i (Ketua Rayon Niskala Wastu Kencana, Fakultas Pertanian, Komisariat Universitas Galuh, Cabang Kabupaten Ciamis)

Gerakan kepedulian lingkungan menjadi gerakan yang banyak dilakukan dewasa ini. Hal ini dinilai sebagai kemajuan dari kesadaran manusia yang telah lama dimanja dan terbuai oleh kepentingan individu atau kepentingan pemenuhan kepuasannya sendiri. Kepentingan pemenuhan kepuasan individu ini terjadi karena kondisi sosial yang diwarnai sistem kapitalistik dimana kepentingan individual yang dianggap menjadi penggerak kondisi sosial yang berlangsung. Secara ideologi, kapitalisme didasarkan pada dalil bahwa mengikuti kepentingan (ketamakan) sendiri-sendiri justru akan memajukan kepentingan umum dan pertumbuhan. Seperti ungkapan terkenal Adam Smith dalam bukunya the wealth of nation “Bukan karena kemurahan hati tukang daging, tukang bir, atau tukang kue kita bisa mendapatkan makan malam kita. Melainkan justru karena mereka mengejar kepentingan dirinya sendiri.” Karena paradigma itulah kepentingan individu menjadi sangat fundamental sifatnya. Hal ini berimbas pada kehidupan sosial ekonomi dimana produksi dilakukan dengan tujuan akumulasi kapital semaksimal mungkin sehingga mengorbankan kelestarian lingkungan. Hal itu terjadi sejak dimulainya revolusi industri pada abad ke-18 di Inggris. Revolusi industri menimbulkan perubahan dimana tenaga manusia digantikan oleh mesin, karena logika industri yang menghendaki efisiensi modal termasuk tenaga kerja, namun menginginkan output atau laba yang maksimal.

Sebenarnya Gus Dur tidak secara langsung mengkritik kapitalisme, seperti yang dikatakan M. Syafii Anwar dalam pengantarnya untuk buku Gus Dur  Islamku, Islam Anda, Islam Kita, “acuan dan praktek perdagangan bebas dan efisiensi yang di bawakan oleh sistem kapitalisme tidaklah bertentangan dengan Islam, karena Islam sendiri mengajarkan fastabiqul al khairat (berlomba dalam kebaikan)”. Namun Gus Dur juga lebih mendukung ekonomi yang berlandaskan ekonomi kerakyatan. Karena menurut Gus Dur ekonomi haruslah memperjuangkan rakyat kecil dan memperjuangkan nasib rakyat banyak. Dalam bahasa Gus Dur, umat Islam bisa menerima pelaksanaan prinsip-prinsip Islam dalam orientasi dan mekanisme ekonomi kapitalistik tanpa harus memeluk kapitalisme itu sendiri. Pandangan Gus Dur tentang ekonomi juga termanifestasi dalam kebijakan semasa menjabat menjadi presiden, diantaranya dengan melawan tekanan IMF dan berhasil membuat perekonomian Indonesia tumbuh positif untuk pertamakali semenjak reformasi. Menurut Gus Dur “Keharusan kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional dan efisiensi yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dari sebuah kebangkitan ekonomi.” Ekonomi dalam pandangan Gus Dur ini juga sejalan dengan pandangannya terhadap kepedulian lingkungan, karena ekonomi sangat terkait dengan lingkungan sebagaimana pemenuhan kebutuhan manusia yang tak terbatas terhadap sumberdaya alam yang terbatas.

Kepedulian Gus Dur terhadap kelestarian lingkungan jarang dibahas dalam berbagai kesempatan. Namun setelah wafat, Gus Dur mendapatkan penghargaan oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) sebagai pejuang lingkungan hidup pada tahun 2010. Kepedulian Gus Dur misalnya bisa dilihat dari keberpihakannya tentang aktivitas LSM di Simalungun Utara yang mengusahakan agar masyarakat diberi kepemilikan hutan pohon maranti di sebuah suaka alam yang seluas 200 Ha. Dalam pandangan Gus Dur hal ini sama dengan masukan Erna Witoelar semasa menjadi Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah, dengan gagasan supaya masyarakat diberi kepemilikan sejumlah luas tertentu atas hutan-hutan, agar mereka merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan. Usul itu diajukan untuk mencegah pembakaran hutan oleh orang-orang yang membuat ladang secara tidak bertanggung jawab. Upaya itu bisa dilihat sebagai upaya pemberdayaan kedaulatan rakyat atas hak ruang hidupnya, terutama bagi yang hidup daerah pegunungan. Karena jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, dimana lahan hutan mulai terkikis karena investasi perusahaan pada komoditas sawit, atau bahkan pertambangan yang terjadi dan mengorbankan hutan. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) melihat trend hutan alam yang tersisa dari 2010 s/d 2017. FWI menyebutkan sisa hutan alam pada 2010 seluas 106.411.422 hektar. Pada 2017, hutan alam kita tersisa 82.832.498 hektar. Periode 2000-2009 memperlihatkan angka deforestasi sebesar 1,5 juta hektare per tahun dan 1,1 juta hektare per tahun di 2009-2013. Sedangkan pada periode 2013-2017, laju deforestasi pada periode ini adalah 1,47 juta per tahun. Pada periode 2013-2017, laju deforestasi di konsesi kehutanan dan perkebunan mencapai luas 2,81 juta hektare atau sekitar 49 persen dari total deforestasi yang terjadi. Luas ini belum menghitung angka deforestasi akibat karhutla dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar.

Kondisi dewasa ini begitu memprihatinkan, pada era ini, cara melihat alam dirubah menjadi sekedar sebagai modal dan kepemilikan. Alam di reduksi menjadi suatu nilai yang dapat diperdagangkan, dan digunakan seperti aset lainnya. Alam diposisikan setara dengan modal atau kapital lain dalam relasi produksi. Ini merupakan cara ideologis untuk memasukan alam ke dalam rasionalitas kapitalis dan kalkulus moneternya. Hal ini menurut Gus Dur adalah tantangan umat islam terhadap modernisasi, seperti pengetasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainnya. Islam Rahmatan lil Alamin (Islam adalah rahmat bagi seluruh alam) adalah tanggung jawab setiap muslim untuk mewujudkannya, karena bagaimana bisa muslim yang mewujudkan islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, kalau muslim itu sudah berhenti menjadi rahmat bagi tubuhnya sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan misalnya mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, tidak menjaga lingkungan dan kebersihan.
Gus Dur mengingatkan akan pentingnya melestarikan lingkungan salah satunya dengan mengutip kitab suci Al-Qur’an “Dan dalam diri utusan Tuhan benar-benar telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan tanda-tanda kebesaran Allah (laqad kâna lakum fî rasûlillâhi uswatun hasanatun li man kâna yarju Allâha wa al-yauma al âkhi­ra wa dzakara Allâha katsîra)” (QS al-Ahzâb [33]:21).

Manusia sebagai khalifah fil Ardhi haruslah senantiasa berhubungan dengan baik terhadap segala yang ada di bumi, hubungan kita dengan tanah, air, angin, sinar matahari, dan tanaman disitulah kita mengukur peran kita sebagai khalifah fil ardhi.  Hal seperti ini seharusnya menjadi esensi gerakan islam dalam membangun kehidupan berbangsa, bukan malah mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama dalam bernegara. Inti pandangan seperti ini adalah kesadaran pentingnya peran agama yang harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, bukan malah menjadi wahana formalisasi.

Editor: Riyan

You may like these posts