Hari Anak Nasional: Stop Perkawinan Anak (Menilik Dampak Multidimensional Perkawinan Anak)

Hari Anak Nasional: Stop Perkawinan Anak (Menilik Dampak Multidimensional Perkawinan Anak)


Penulis: Sahabat Siti Nurul Hajirotul Qudsiyah (Kader PMII Komisariat Universitas Mulawarman)

42 tahun yang lalu ditetapkannya Hari Anak Nasional (HAN) yang bertepatan pada 23 Juli. selaras dengan di sahkannya Undang-Undang tentang kesejahteraan anak pada 23 Juli 1979 dan didasari pada Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 44 Tahun 1984. Hal ini menjadi momentum penting bagi seluruh komponen bangsa dikarenakan anak merupakan generasi bangsa di masa depan, sudah selayaknya dan sepatutnya untuk memperhatikan serta menjamin hak anak atas hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat manusia, dan hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Adapun tema Hari Anak Nasional 2021 yang dirilis oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI yaitu ‘’Anak Terlindungi, Indonesia Maju’’ dengan landasan sebagai motivasi dan juga pengingat bahwa walaupun di masa pandemi tidak menyurutkan komitmen untuk tetap menjamin dan memenuhi hak-hak anak.
 
16 bulan berlalu sejak terkonfirmasinya pandemi pertama kali di Indonesia, kondisi ini banyak menimbulkan gemericik api bagi hak-hak anak sehingga sulit untuk dipenuhi sehingga menciptakan zona yang tidak ramah anak. Terdapat beragam indikasi yang menunjukan bahwa beberapa keadaan membuat zona yang tidak ramah anak dari aspek pendidikan yang sampai detik ini sistem pembelajaran yang masih kurang optimal tak jarang mengakibatkan kejenuhan belajar, aspek pengasuhan yang pada masa ini banyak kita temui banyak ayah, ibu, bahkan keduanya sekalipun terdampak COVID-19 bahkan tak jarang mereka kehilangan orang tuanya, aspek sosial minimnya ruang aman untuk beraktivitas sosial dan bermain dalam rangka pemenuhan hak tumbuh dan berkembang, aspek kesehatan yang mengacam anak setidaknya terdapat 12,5% dari kasus positif COVID-19 di Indonesia adalah anak usia 0-18 tahun atau setara dengan 1 dari 8 anak terinfeksi (IDIA, Juni 2021), dan yang tak kalah memprihatinkannya kekerasan baik fisik, psikis, dan seksual yang tinggi. Itulah sederet kendala-kendala yang dialami selama pandemi dalam pemenuhan hak-hak anak, akan tetapi ada yang tak kalah lebih memprihatinkan dan menjadi suatu problem bagi bangsa Indonesia itu sendiri dari zaman sebelum pandemi hingga detik ini dan bahkan lebih melonjak lagi selama pandemi yaitu perkawinan usia anak.

Permasalahan perkawinan usia anak, menjadi isu yang tak kunjung usai dan diyakini akan banyak memiliki masalah di masa depan. Saat ini Indonesia menempati peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia, dan diketahui sekitar 22 dari 34 provinsi di Indonesia memiliki angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional, salah satunya adalah Kalimantan timur yang mencapai 1.159 anak terdiri dari 254 anak laki-laki dan 905 anak perempuan berdasarkan data 2020, hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 1 dari 4 anak perempuan yang telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun, dan menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studinya Girls Not Brides menemukan data bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun. Usia-usia yang dini tersebut begitu rentan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mana kasusnya dalam data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) DKP3A Kaltim per 1 mei 2021 sebanyak 120 kasus. Ini merupakan jumlah yang terdeteksi, namun perlu diingat fenomena ini merupakan fenomena gunung es yang tidak bisa di tentukan secara langsung berdasarkan data yang sudah di dapat, sebab masih banyak kasus-kasus lainnya yang belum terungkap atau enggan untuk mengungkap dan diungkap.

Fenomena ini sungguh mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Pasalnya, pemerintah yang telah mengatur dengan jelas batas minimal usia perkawinan 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan dan dengan tegas mengatur perihal dispensasi perkawinan pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Hal ini bertentangan denga isi Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 Ayat 2 yang menjelaskan: "Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin’’. Dapat simpulkan bahwa dalam UU kesejahteraan anak tersebut usia 19 yang dikatakan menjadi batas usia minimal untuk perkawinan masuk kedalam kategori usia anak, dengan demikian terjadi ketidak selarasan antara peraturan satu dengan lainnya. Belum lagi ditambah realita yang terjadi di tengah pandemi COVID-19 yang mana meningkatkan jumlah perkawinan usia anak dikarenakan tingginya jumlah permohonan dispensasi perkawinan usia anak yang mencapai 34.000 permohonan pada januari-juni 2020 dan 97% diantaranya dikabulkan, padahal sepanjang tahun 2019 hanya terdapat 23.700 permohonan. 

Berbicara tentang kesejahteraan anak maka berbiara tentang tata kehidupan, dan penghidupan anak yang dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik fisik, ekonomi, sosial, psikis, agama dan budaya yang betujuan terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Akan tetapi jika realita yang demikian terjadi maka mustahil kebutuhan-kebutuhan pokok anak dapat terpenuhi secara lahir maupun batin. Mengapa tidak, kematangan usia merupakan akumulasi dari kematangan segala aspek yang bersifat biologis, psikologis, dan sosial. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa perkawinan usia anak merupakan sumber dari berbagai masalah sosial di masyarakat, sebagai berikut: Pertama, tingginya angka perceraian di masyarakat dikarenakan belum matang dan belum dewasa, baik fisik, mental, dan spiritualnya sehingga belum mampu menjalankan tanggung jawab sebagai suami, istri, atau sebagai anggota keluarga, sebab kehidupan berumah tangga menuntut adanya peran dan tanggung jawab yang besar bagi kedua pasangan. Kedua, menyebabkan kemiskinan, pengangguran, dan putus sekolah. Sebab, seharusnya mereka masih menuntut ilmu, merasakan bangku sekolah untuk mengembangkan potensi dan kapasitas keilmuan dan keterampilan yang dimiliki untuk kehidupan kelak, namun pada akhirnya itu hanya menjadi mimpi belaka alhasil mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan akhirnya dilanda kemiskinan yang berujung kejahatan. Beradasarkan data Bappenas tahun 2021 dampak perkawinan anak terhadap ekonomi menyebabkan kerugian ekonomi negara sekitar 1,7% dari pendapatan domestik bruto (PDB).

Ketiga, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hal ini dikarenakan usia yang masih muda, emosi yang belum stabil, belum matang secara mental dan spiritual sehingga sulit untuk di kontrol baik tindakan maupun ucapan yang pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan domestik yang beragam. Keempat, terjadinya problem sosial seperti narkoba, HIV/AIDS, aborsi, pelacuran, kekerasan, dan trafficking (perdagangan orang), ini merupakan fakta yang tidak dapat diingkari yang membawa pengaruh yang dapat merusak kesehatan anak-anak, dan mayoritas dialami anak perempuan dan anak perempuan lebih rentan mengalami beragam kekerasan terutama kekerasan seksual termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan, dan penjualan organ-organ dan jaringan (tissues). Sebab anak perempuan seringkali menghadapi tekanan dalam melakukan kegiatan seksual karena beragam faktor seperti usia muda, tekanan sosial, dan kurangnya undang-undang perlindungan dari kejahatan seksual. Kelima, tingginya angka kematian ibu akibat melahirkan (AKI), terutama disebabkan oleh kehamilan di usia sangat muda, jarak kehamilan yang dekat, dan tidak matanganya fungsi-fungsi reproduksi baik secara biologis dan psikologis, dan rendahkanya tingkat kualitas hidup perempuan di bidang Kesehatan. Melahirkan di usia muda merupakan persoalan yang besar, karena beresiko besar terhadap fungsi-fungsi organ yang belum matang secara optimal dan terlepas dari itu melahirkan di usia muda juga dapat menjadi pembatas bagi peluang anak perempuanuntuk dapat mengembangkan keterampilan, memperoleh Pendidikan, dan pekerjaan yang mana menimbulkan dampak negatif dalam jangka Panjang dalam kehidupannya.

Dampak-dampak tersebut merupakan sebagian dampak dari terjadinya perkawinan anak, dan masih banyak dampak-dampak lainnya yang belum dibahas. Namun kelima dampak tersebut yang paling utama dan besar pengaruh yang dirasakan. Dengan demikian, sangat jelas sekali bahwa perkawinan usia anak banyak mendatangkan keburukan (mudhorot), sebab perkawinan usia anak merupakan bentuk eksploitasi anak, perkawinan usia anak merupakan kejahatan terhadap manusia, perkawinan usia anak cenderung menjadi sumber bencana dalam kehidupan bermasyarakat, sebab menimbukan dampak-dampak yang krusial.

Fenomena ini merupakan tugas kita bersama untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan praktik-praktik perkawinan usia anak, dengan melakukan berbagai kegiatan edukasi untuk memberikan pemahaman kepada setiap orang wabilkhusus dalam hal ini adalah orang tua yang memiliki kendali atas anaknya. Walaupun pemerintah sudah melakukan gerakan sebagai bentuk komitmennya melalui penetapan target penurunan perkawinan anak secara nasional dalam RPJMN 2020-2024 dari 11,2 persen di tahun 2018 menjadi 8,74 di tahun 2024, namun.kampanye ini harus massif di gaungkan oleh berbagai pihak mulai dari tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama untuk bersama-sama bersinergi mengatasi hal tersebut dan menjadi kontrol bagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan secara aktif dan jelas, serta mengintegrasikan setiap kebijakan dan program bersadarakan prespektif adil gender.

Dalam rangka Hari anak Nasioanl tahun 2021, kesejahteraan anak harus dicapai guna untuk memperoleh penghidupan yang layak, dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak anak tanpa terkecuali mengembangkan potensi dan keterampilan mereka, melalui Pendidikan dan pelatihan, gizi yang baik, Kesehatan fisik dan mental, serta informasi yang diperlukan. Sebab anak adalah generasi penerus bangsa, anak adalah harapan bangsa, dan anak adalah pelita bangsa di masa depan. Sudah selayaknya dan sepatutnya diberikan perlakuan yang baik jika negara di masa yang akan datang ingin maju, sesuai dengan tema hari anak tahun ini ‘’Anak Terlindungi, Indonesia Maju’’.

Editor: Yakin

You may like these posts