Salus Populi Suprema Lex Esto dan Raison D’état Pemerintah Kita

Salus Populi Suprema Lex Esto dan Raison D’état Pemerintah Kita


Penulis: Sahabat Mohammad Iqbalul Rizal Nadif (Bidang Kaderisasi PC PMII D. I. Yogyakarta) 

Di tengah pandemi COVID-19, kebijakan pemerintah tentunya difokuskan dalam penanganan dan penekanan angka penyebaran dengan dalih kondisi darurat, serta keselamatan rakyat menjadi prioritas utama atau meminjam istilah Cicero "Salus Populi Suprema Lex Esto".

Salus Populi Suprema Lex Esto adalah adagium latin yang pertama kali diperkenalkan oleh filsuf romawi kuno Marcus Tullius Cicero dalam bukunya “De Legibus”. Kemudian juga Thomas Hobbes dalam karya klasiknya “Leviathan”. Selain itu, Baruch Spinoza dalam karyanya “Theological-Political Treatise” menyebutkan terminologi yang serupa. Selanjutnya, John Locke juga menggunakan diktum tersebut dalam bukunya “Second Treatise on Government” dengan merujuknya sebagai salah satu prinsip fundamental bagi pemerintah. Cicero pada saat itu membayangkan, di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama, termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum. 

Tetapi adigium ini seringkali diartikan kurang sesuai dengan ruh lahirnya. Dalam penerapannya, ungkapan adagium atau asas yang mulia tersebut seringkali hanya dijadikan sebagai narasi politis belaka. Terlebih lagi dalam keadaan sekarang ini. Pandangan inilah yang kemudian turut memunculkan konsep "raison d’état" atau “alasan negara”. Konsep tersebut berpedoman pada alasan politis murni bagi tindakan pemerintah yang mendasarkan pada kepentingan nasional, namun seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan serta mengesampingkan kepentingan khalayak umum. 

Pembatasan kegiatan serta ketidakpastian kebijakan strategis dalam penguatan ketahanan pada berbagai lini kehidupan yang diambil pemerintah kita adalah salah satu bentuk bukti nyata praktik "raison d’état" dari adagium "salus populi suprema lex esto" pemerintah kita. Di mana narasi kemaslahatan umat hanya menjadi alasan negara untuk 'meninabobokan' rakyatnya demi mempercepat perkembangan moda kapitalisme yang memonopoli pandemi COVID-19. Bisa kita lihat dengan beberapa kebijakan kontroversial pemerintah yang bersembunyi dibalik ketiak pandemi. Terhitung ada beberapa kebijakan kontroversial yang disahkan di tengah situasi pandemi. Situasi yang seharusnya pemerintah fokus pada penguatan sendi-sendi kehidupan bangsa. 

Pemerintah sebenarnya harus lebih jeli dan konsisten dalam mendudukan ruh dari "salus populi suprema lex esto". Sehingga setiap kebijakan yang diambil fokus pada stabilisasi pengendalian COVID-19 yang presisi. Kita bisa lihat dalam waktu satu tahun ke belakang, pemerintah masih tidak fokus pada penanganan COVID-19. Pemerintah dengan kebijakannya masih membuang waktu untuk urusan percepatan sektor lainnya yang tidak ada korelasinya terhadap kemaslahatan rakyat. RUU Ciptaker Omnibuslaw menjadi salah satu kebijakan yang berlindung dibalik "raison d’état" pemerintah kita. 

Kita ketahui bersama dalam beberapa waktu terakhir pandemi kembali bergejolak. Hal itulah yang kemudian mendorong pemerintah mengambil keputusan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Pemerintah seharusnya lebih jeli dan taktis dalam menentukan langkah strategis ke depan yang tidak terkesan dadakan dan hanya menjadi pemadam kebakaran semata. Hal ini penting melihat situasi yang tak menentu ditambah dengan beberapa kebijakan yang cukup membuang waktu serta kurang berimplikasi pada relevansi kondisi hari ini. Pemerintah harus terus mengevaluasi setiap langkah pengambilan kebijakan. Hal terpenting yang harus diperhatikan pemerintah dalam menentukan kebijakan, tentunya harus mengedepankan kemaslahatan dan keselamatan rakyat agar ruh "salus populi suprema lex esto" tidak hanya terkesan sekedar menjadi narasi politis.

Tentu kita berharap besar dengan segenap spirit gotong royong bangsa Indonesia serta kebijakan strategis pemerintah yang tepat serta tidak mengesampingkan kemaslahatan rakyatnya. Berharap pandemi segera usai serta tidak menimbulkan persoalan baru seperti krisis pangan, krisis ekonomi ataupun krisis energi. "Salus populi suprema lex esto" harus menjadi spirit yang tidak hanya menjadi "raison d’état" tetapi menjadi satu asas yang benar-benar menjadi pertimbangan pemerintah dalam merumuskan suatu kebijakan. 

Editor: Ihza

You may like these posts