Manuskrip Rasa

Manuskrip Rasa


Penulis: Sahabat Nur Agustiningwati (Kader PK PMII Persiapan ITSNU)

Raga kian bersenandika. Alunan-alunan cinta berpalawa. Menjanjikan ikatan-ikatan cinta. Berbunga-bunga dalam sukma. Ku seduh tiap nafas-nafas cinta yang disuguhkannya. Aku adalah tamu didalam kehidupannya. Nada-nada romantis yang kerap kali dihembuskannya seolah-olah menawarkan detak jantungnya untuk kumiliki. Tiap benih-benih asmara yang ditanam melalui tangkapan retinanya, selalu membuat taman bunga di hati siap menjalani musim semi. Sungging senyum, gelak tawa membuatku menjadi beku seperti sedang melakukan eksperimen cryonic. Aahh...kenapa hati yang tak bertuan itu selalu menggoda..?

Pasuruan, 2 Agustus 2015 Tahun pertama
Genap sudah usiaku 18 tahun.

Trotoar, kugapai dengan langkah-langkah sayu menuju tempat perkuliahan. Setiap deretan bata-bata tersusun rapi terpaksa harus terinjakkan kaki. Rasa malas selalu mengelabuhi tiap pergi menggapai mimpi. Bangku kosong siap memangku tubuh tak bergairah ini. Papan tulis putih melambai-lambai ingin cepat kunodahi.

"Tumben lemas" sapa daris teman seperjuanganku

"iya, kemarin malam habis merangkai harapan-harapan"

"halu teruss" Ejeknya

Sebentar..! aku masih merangkai harapan-harapan yang ku bungkus pada tiap malam-malam sunyiku.

Uuhh... betapa bodohnya aku..?

Bergairah dalam percintaan, namun layu perihal pengetahuan. Malam-malam kulewatkan untuk termangu di ranjang mengumpulkan imajinasi-imajinasi tentangnya.

Pasuruan, 2 Agustus 2016 Tahun kedua
Tabir asmara semakin terbuka luas

Menyambut sukmaku yang kian ganas. Deretan permainan kata telah aku bukukan. Untaian kenyamanan hampir aku dapatkan. Tinggal menunggu waktu untuk bersemayam. Namun, hanya waktu yang aku santap dengan kerinduan tanpa meninggalkan seonggok kenangan. Begitupun pengetahuan, perlahan kuenyahkan hanya demi penantian.

Bagai arunika diufuk timur hatiku mengglayur-glayur menanti kata yang tak kunjung sembur

"Alema" begitulah sapaan akrabku.

Aku tersenyum mendengar sapaan khas tersebut. Kupasok oksigen dengan tamak. Lalu meneguhkan hati untuk memutar tubuh ke pemilik suara tersebut. Suara derap langkah yang menggema dilorong kelas terdengar mendekat.

"iya, andre..?" Kuperlihatkan bibir ranumku dengan dihiasi sungging senyum.

"detak jantungmu berdentum keras".

Pupil mataku melebar, berfikir keras sebab ungkapan andre. Bagaimana mungkin ia bisa mendengar jantungku yang memang benar-benar berdetak dengan keras bahkan lebih cepat dari biasanya?

"bercanda aleema".

"mana mungkin aku bisa mendengar detak jantungmu" Tambahnya sekali lagi dibarengi gelak tawa yang membuatku semakin tak bisa mengekspresikan wajahku.

Tawanya terhenti. Sepasang mata coklatnya menatap lurus pada goa gelap milikku.

"mana mungkin aku bisa mendengar detak jantungmu, ketika aku bukanlah bagian dari detak jantung itu" Tambahnya membuat hatiku semakin gemuruh naik turun.

Aku telan ludah, sebelum akhirnya angkat bicara.

"ngomongnya sih Dre"

aku yakin suasana kali ini membuat wajahku berubah warna menjadi merah jambu.

Andre mengernyitkan dahinya. Seakan aku salah ucap.

"kenapa pipimu merah..?"

Sontak aku kaget. Dugaanku benar,wajahku memerah.

"aku..? Merah..?" Tanyaku gugup

"iyaa, pipimu merah seperti jiyeonhee" Ucapnya santai.

Namun tercetak jelas ia menyembunyikan tawa

"siapa jiyeonhee..?"

"si pemilik pipi merah " kujawab dengan gusar

"hubungannya sama aku apa..?"

"'ya ada. Kamu itu mirip dengan jiyeonhee. Pipinya pasti cepat memerah ketika gugup karena bertemu orang yang dikaguminya" jelasnya sebelum akhirnya angkat bicara kembali.

"atau jangan-jangan kamu mengagumiku dalam diam yah..?"

Akhhh... aku semakin salah tingkah dibuatnya.

"apa sih? Udah minggir, aku mau lewat".

Tumit kuangkat, lalu berlalu meninggalkan tempat kejadian perkara dengan wajah yang masih memerah.

Pasuruan, 2 Agustus 2017 Tahun ketiga
Waktu demi waktu

Ini bukan soal penantian

Namun perihal gejolak yang tak mau diungkapkan Hanya disimpan.
Mengapa engkau masih tengkurap dalam kebungkaman..? Bukankah kau menggebu-gebu..? Ungkapkan! Ungkapkan! Ungkapkan!
Seruan itu hingga ada pengulangan, namun kau masih membisu..?

Detik-detik yang telah kulalui tak dapat membantu melontarkan rasa ini. Haruskah aku menyalahkan takdir..?

Takdir bertemu denganmu..?

Takdir tak bisa ungkapkan rasa itu..? Atau...
Takdir ketidak percayaan diri bisa memilikimu..?

Aku berharap ada seseorang yang memberitahuku tentang berakhirnya rasa ini.

Pasuruan, 2 Agustus 2018 Tahun keempat

Rasa ini saja belum terselesaikan..? bagaimana dengan rumitnya hubungan..?

"alema, intelektual. Bagaimana dengan belajarmu..?" Tanya andre sembari menyebutkan arti namaku Usia kami tak terpaut jauh

"yah begitu"

"kecantikan" ia menghela nafas

"berlomba-lomba demi kecantikan rupa..".

"padahal yang dicari-cari kan hati dan hebatnya intelektualnya" ia tersenyum miring

"aleema, kamu yang mana..?"

"Aku..? tak semuanya"

Tak cantik, intelektual pun tak hebat. Memalukan..!

Aahh.. Aku kalut lagi.

Rupanya ia menginginkan pendamping hidup yang cantik hati nan berintelektual.

Sedangkan aku..? aku mulai melupakan seberapa pentingnya intelektual senantiasa yang rela mengelabuhi akal sehatku.

Perempuan yang berintelektual pantang di dua, tiga, empatkan.

Padahal kalimat itu telah kudengar sewaktu aku mengikuti sekolah pemikiran perempuan di surabaya tempo hari lalu.

Pasuruan, 2 Agustus 2019 Bulan ke-lima
Tentang masa dan rasa Bagaimana rasanya terbelenggu? Masamu berlalu

Namun kau masih terbisu

Sedangkan rasamu masih saja menggebu Dan ...
Dia yang kau tunggu Sebenarnya tau
Hanya saja pura-pura tak tau

"aku salut padamu alema" ungkapnya

" salut soal..?"

"tidak...tidak ada..."

Aku menghela nafas berat

"jika ada sesuatu yang mau kamu bicarakan ke aku. Bicara aja..! aku siap mrndengarnya dan..."

Ia menjeda kalimatnya

"dan apa..?" Atanyaku penasaran

"dan menerimanya" ia tersenyum dan melangkah pergi.

Pasuruan, 2 Agustus 2020 Tahun keenam
Kepadamu yang berjas putih

Semoga aku tak merasakan pahitnya empedu maaf
Harapan-harapan yang telah kujahit tahun-tahun lalu Tak bisa kupersembahkan untukmu. Apapun yang telah bersemi dengan sekejab mengering. Tatkala aku menatapmu bersanding dengan bidadari surgamu

Torehan tinta berkisah akan berakhir dengan segala yang tak pantas kusebut sakit, patah, maupun sia-sia. Dan akhirnya aku menyadari. Hukuman terburuk di dunia adalah waktu.

Editor: Yakin

You may like these posts