Rumah Kehidupan dan Rumah Kematian

Rumah Kehidupan dan Rumah Kematian


Penulis: Sahabat Ahmad Syafiq (Ketua Rayon Tarbiyah Komisariat Ki Ageng Ganjur IAIN Pekalongan)

Ini aku menjauhkan diri dari bisingnya lalu lalang orang-orang. Diriku melangkah ke tempat dimana tak ada seorangpun kecuali diriku, Karen disanalah tempat orang tinggal dengan kebahagiaannya dan kedamaiannya.D

Diriku duduk ditempat itu. Ku lihat dan ku bayangkan desaku disana. Betapa kacaunya sekarang. Rumah-rumah berdiri megah, tinggi, menjulang langit. Jalan-jalan yang tiada henti dilewati sumber-sumber kesombongan manusia.

“zaman modern…” teriakku.

Diriku duduk sambil membayangkan kerja manusia dikejauhan sana. Dan diriku menemukan mereka dalam keribetan dan ketegangan jiwa.

“demi uang…” teriak mereka.

“demi hidup…” teriak yang lain.

Didalam batinku aku berusaha melupakan apa yang menimpa mereka, dan diriku memalingkan mataku kearah kampung kedamaian. Disana yang ku dapati cuma onggokan tanah, batu nisan yang dikelilingi pohon-pohon dan bunga kamboja. Lantas diriku merenung.


Desaku telah menjadi kota.

Indah dalam pandangan mata.

Semua ada dan tersedia.

Bahagia bagi sebagian mereka.


Desaku telah jadi kota kehidupan

Disana terjadi kesibukan

Kelelahan yang tiada penghabisan

Sesuatu yang takkan ada penyelesaian


Sedang disini kota kematian

Yang kutemukan cuma ketenangan

Diam dalam kebisuan dan keheningan

Terus… apa yang mereka banggakan?


Dikota kehidupan yang kudapati :

Harapan & keputusasaan

Rasa sayang & benci

Kemiskinan & kekayaan

Kepercayaan & kemunafikan

Sedang di kota kematian ku dapati…? Entah… aku tiada tahu… yang tahu cuma Tuhan-ku… Karena kematian belum menjemput ku, tapi suatu saat, pasti aku akan singgah di kota kematian. Disanalah kelak kota abadi yang kutemukan.

Lamunanku berhenti…

Tiba-tiba mataku melihat kedatangan iring-iringan orang, di belakang sebuah peti mati yang dibawa sebuah mobil. Peti mati yang mahal, terbuat dari kayu dan besi yang dibuat sedemikian rupa… Peti mati penuh ukiran karya pengukir yang hebat. Peti mati orang kaya dan berkuasa. Pengiringnya sangat banyak, dari berbagai macam lapisan masyarakat…

Yang mati orang terkenal, terpandang dan terhormat. Suasana haru, senyap penuh derai air mata. Sesegukan tangis.. Ketika peti mati di turunkan pemandangan orang berpakaian hitam, berbelasungkawa, penuh duka cita. Dipimpin oleh seorang yang alim. Orang-orang berdo’a dengan nada-nada yang indah. Benar-benar upacara kematian yang megah. Sesaat kemudian orang-orang menyingkir, Nampak sebuah batu nisan pualam karya pemahat dan tukang batu yang tersohor keindahannya. Disekelilingnya ditaruh bunga yang disusun terampil oleh tangan-tangan ahli. Setelah upacara penguburan selesai, kemudian iring-iringan itu pergi meninggalkan pemakaman. Suara hening lagi.

Aku kembali merenungkan apa yang baru saja aku lihat.

“manusia dengan rumah yang indah. Di dunia ia punya rumah mewah… sedang di alam kematian ia punya rumah yang megah” gumamku pelan.

Ketikaaku akan beranjak meninggalkan tempat itu, mataku kembali dikejutkan oleh kedatangan empat pria yang memikul keranda. Dibelakangnya nampak seorang perempuan dengan pakaian lusuh. Mengikuti seraya menggendong anaknya yang menetek.

Nampak seorang anak perempuan yang tak lain adalah juga anak ibu itu, tak henti-hentinya ia menangis. Sambil memegangi tangan ibunya. Cuma itu, hanya itulah iring-iringan penguburan. Seorang pria miskin, seorang pria hina ditempat itu.

Seorang istri mencurahkan air mata kepedihannya dan bayi yang menangis, karena tangis ibundanya. Serta anak perempuan yang menangis kehilangan ayahnya dalam kepedihan dan kepiluan. Keempat orang itu lalu memasukkan mayat itu ke liang lahat. Mayat malang itu ditimbun tanah tanpa penghalang apapun. Penguburan itu akhirnya selesai, dan berakhir dengan sebuah gundukan tanah. Tanpa batu nisan, tanpa bunga. Kemudian mereka pulang dalam kebisuan. Sedang anak perempuan bermata sembab itu berkali-kali menoleh kebelakang. Seakan-akan ia tak rela ayahnya pergi. Matanya masih basah, menatap tempat peristirahatan terakhir ayahnya.

“kemana aku harus pulang…?” pikirku tentangnya.

Setelah itu mereka hilang dibalik pohon-pohon. Aku tiada dapat menahan air mataku.

“mereka pasti tidak punya rumah…” lalu aku menatap kota kehidupan.

“itu sebab sikaya dan berkuasa…” dan kearah kematian, akupun berkata,

“itupun karna sikaya dan berkuasa…”

“lantas dimana ya… illahi.. ya Allah… rumah si miskin tanpa daya itu…?”

Setelah berkata itu, aku berjalan pelan meninggalkan kampung kedamaian itu. Kutatap langit biru yang cerah, kutanya semilir angin. Kurasakan harumnya semerbak bunga, kulihat pohon-pohon… Semua diam…

`Dan sebuah suara di dalam diriku berkata

“nun jauh disana…”

Editor: Ihza

You may like these posts