G30S/PKI - Andil Kuat Intelektual Soeharto dan Sudut Pandang Gus Dur

G30S/PKI - Andil Kuat Intelektual Soeharto dan Sudut Pandang Gus Dur


Penulis: Sahabat Yusran Haga (Kader PMII Sulawesi Utara)

Ada pernyataan heroik dalam film G30S/PKI dari sosok lelaki paruh baya yang tak mungkin saya lewatkan. Mesti saya catat diawal uraian ini. "Soal beras, soal dunia, soal kedudukan sekadar perihal dunia. Dalam keadaan bobrok seperti saat ini, kita mesti mendekat ke Tuhan. Iman mesti diperteguh. Jangan mau dibujuk oleh apapun dan siapapun. Jangan takut pada ancaman komunis. Semua itu fana! Boleh jadi saat ini bukan kita yang memenangkan. Tapi yakinlah, anak-anak kita yang akan memenangkan semuanya, anak-anak kita yang akan menegakkan kebenaran di negeri ini. Manusia tidak bakal selamanya bersombong." Pernyataan ini nyata betapa optimisnya para pelaku sejarah kala itu.

Dalam satu sisi, "Pemuda lah yang membangun Indonesia dalam keimanan. Membersihkan udara negeri ini yang kotor dengan kemunafikan, oleh syirik, oleh slogan-slogan komunis yang menyesatkan dunia," lanjut lelaki paruh baya itu.

Di lain sisi, sedang terselenggara rapat persiapan pemberontakan PKI. Ada ucapan DN. Aidit dalam rapat tersebut, "Satu detik pun kita tak boleh kalah. Kuasai instalasi vital, utamanya media!" (Rumah DN. Aidit 8-12 Agustus 1965).

Masih perihal berjalannya, ditengah heroik dan kalang kabutnya kondisi politik dengan berbagai gejolak kala itu, mulai dari misi kudeta, misi merubah ideologi bangsa, dan sebagainya, spirit penempaan pengetahuan berjalan. Lagu "Lihat kebunku" bergema di Taman Kanak-Kanak Indrya (Kindergarten) Jalan Tjilosari 37 Djakarta. Anak-anak bersemangat, bergembira tak berbeban. Dipikiran mereka sekadar semangat belajar, bernyanyi, dan bermain. Tak ada yang lain.

Dalam fenomena itu pula, ada sesuatu yang lazim hingga kini. Isu agama rupanya sangat seksi dalam membakar sensitifitas dan emosi publik. Jenderal diadu dengan jenderal. Sebab jenderal-jenderal itulah yang dianggap representatif elemen terkuat di antara elemen-elemen negara lainnya. Hal itu dijadikan bahan untuk memicu kesalingcurigaan lewat fitnah yang berujung saling bantai. Nyatanya, inilah piciknya PKI atas pertumpahan darah, atas nama haus kuasa, atas dalih menyelamatkan negara. Pembantaian, penderitaan, dan ketakberdayaan atas pengaruh benar-benar menjadi persepsi yang dibenarkan dan menguasai emosi rakyat.

Pemberontakan-pemberontakan untuk merebut paksa kekuasaan membeludak. Hampir semua jenderal-jenderal terbunuh. Tak ada yang tersisa. Tinggal sosok Soeharto—yang sebelumnya bukan jenderal. Ialah Mayjen Soeharto, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD).

Soeharto mengambil alih sementara Pimpinan Angkatan Darat. Ialah sosok dari sekian komplotan jenderal-jenderal yang cukup jernih atas permainan busuk PKI yang telah banyak menguasai ruang-ruang vital. Oleh Soeharto, ruang-ruang dan simpul-simpul PKI ia kuasai, dalam hal ini media. Tak mau kalah langkah, Soeharto mengatur rencana operasi. Rencana operasi oleh Soeharto cukup mengimbangi ruang gerak dan menindih kiat strategi PKI. Sisi buruk sosok Aidit atas kepentingan menguasai dan upaya merubah Pancasila mulai kacau. Namun di lain sisi, sempalan-sempalan pecahnya jenderal-jenderal terus baku hantam.

Di sinilah kemudian sosok Soeharto menjadi bagian penting dalam membawakan kekuasaan dan ideologi bangsa sebagai salah satu pencapaian yang cukup fenomenal dengan tetap menjaga asas nilai kebangsaan Pancasila. Dalam satu versi.

Tapi tidak bagi Gus Dur. Dalam pernyataannya di film Mass Grave, Gus Dur menyampaikan, "Bagaimana angkatan darat menyiapkan bangsa ini untuk melawan komunisme dengan menimpakan kesalahan pada komunis. Sehingga kemudian sekitar 500 ribu orang terbunuh." 

Pembantaian atas dasar apapun, tetap menciderai asas kemanusiaan. Tak ada perwajahan dalam bentuk apapun untuk diterima sebagai suatu penghargaan. 

Yang berlebihan, bagi Gus Dur, persiapan angkatan darat untuk melawan komunisme ialah dengan menimpakan kesalahan pada komunis. Sehingga persepsi masyarakat muslim atas gerakan melawan komunis ini tetep terletak pada sejarah yang ditafsir dengan salah ini. Bagi Gus Dur, mestinya di antara kita meluruskan sejarah dengan mengakui kesalahan itu, lalu meminta maaf. Inilah yang mesti diprioritaskan. 

Spirit kebencian dalam perjalanan sejarah ini justru merembet pada model paradigma yang berimplikasi pada kesalahpahaman tentang pelarangan komunisme, misal. Artinya, seharusnya kita membawanya ke ruang baru dengan meletakkan setepat-tepatnya antara ideologi dan institusi. Bagi Gus Dur, "Jika ada yang melarang PKI, ya sekedar itu yang bisa dilakukan. Tapi melarang ideologi atau pemikiran adalah suatu yang sia-sia."

Maka di ruang-ruang berjalannya peradaban hingga kini, pola-pola yang tersublimasi dari model politik PKI rupanya masih cukup banyak kita temui. PKI tak sekadar simbol-simbol dan identitas. Ialah partai yang membawa misi ideologi yang meletakkan ambisi kekuasaan dengan membabi buta. Mengatasnamakan isu agama dan membantai sendi-sendi kemanusiaan lewat fitnah-fitnah. Penyadapan-penyadapan media dengan informasi-informasi palsu. Sekali lagi, inilah keniscayaan yang mesti terus terpelajari seluas dan sedalam mungkin.

Dari tragedi ini pula mestinya kita juga banyak belajar. Dengan meletakkan nilai sebagai bagan inti dari berjalannya sejarah. Meski tiap histori apapun banyak versi dan sudut pandang, penting kita meyakini secara nyata (fisik) bahwa PKI memang telah benar-benar tak ada. Namun apakah pola-pola piciknya memang jelas benar-benar tak ada pula? Atau cara-caranya pun masih lestari dalam diri dan di antara kita ? Entahlah.

"PKI adalah partai ideologis", ujar abang saya yang politisi. Iya, benar. Tapi apakah energi kita sekadar terus-terusan dihabiskan untuk membenci simbol-simbolnya tanpa mengukur diri untuk tak melakukan pola-pola yang sama? Maka di tengah krisisnya kemapanan keberagamaan, kuatnya ekspresi-ekspresi berebut benar, dan krisisnya rasa kemanusiaan mesti tragedi ini patut menjadi telaah dan ruang refleksi dengan sematang-matangnya.

Maka dalam perjalanan peristiwa heroik ini, Soeharto tetaplah Soeharto, ialah jenderal yang juga telah cukup banyak terlibat dalam aspek-aspek penting bangsa ini. Inilah politik. Namun ingat, dibalik berbagai politik, model maupun polanya, jelas tetep ada nilai yang mesti kita lihat secara jernih dan dijadikan panduan dalam tiap pembawaan.

Hingga kita menyadari bahwa PKI tak semata ruang ekspresi hidup yang berjalan pada masanya, tapi juga mesti menjadi telaah yang objektif atas tiap perjalanan era dengan situasi dan kondisi yang telah meniscayakan realitas hingga kini. Pun dari tiap fenomena dan ekspresi-ekspresi apapun, mestinya nilai kemanusiaan tetap terjunjung sebagai hal yang penting dijaga dan perlu diprioritaskan seserius mungkin, bukan?

Editor: Riyan

You may like these posts