Mahasiswa Bukan Sekedar Agen Perubahan

Mahasiswa Bukan Sekedar Agen Perubahan


Penulis: Sahabat Rahmat (Ketua PMII Rayon Ekonomi dan Bisnis Islam Komisariat UIN Alauddin Makassar Cabang Makassar)

Bila berbicara tentang mahasiswa, maka yang terlintas dalam pikiran kita ialah kaum intelektual organik dengan segala gelar besar bersamanya. Sebut saja Agen of Change, Social Of Control, dan lain sebagainya sebagai pejewantahan dari penyandingan kata Maha dibalik kata mahasiswa, pengguna kedua setelah penunjukan kebesaran Tuhan. Pengelaran tersebut bukan tanpa makna atau sebatas kata retorika, melainkan nilai yang dititip dengan harapan besar mampu mewujudkan amanat sosial.

Ditilik dari sisi historis, mahasiswa punya sejarah panjang dalam mengawal cita-cita kemerdekaan republik Indonesia dengan berbagai gerakan besar menumbangkan rezim zalim dan menjadi romansa kejayaan masa lalu. Sebut saja penumbangan orde lama, orde baru, dan pengawalan era reformasi di masa kini yang selalu diwarnai intrik politik besar dibaliknya.

Kita sudah tidak asing lagi dengan bahasa-bahasa penunggangan dalam barisan perjuangan mahasiswa menjalankan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. Dan hal tersebut menjadi lumrah apalagi ditengah berbagai kepentingan pihak politik yang mendapatkan keuntungan dibaliknya. Kondisi ini benar-benar membuat banyak gerakan mahasiswa menjadi klise akibat dari lahirnya banyak kepentingan didalamnya dengan berujung berebut kekuasaan didalam tubuh lembaga kemahasiswaan itu sendiri, lembaga kemahasiswaan yang sudah sepatutnya menjadi kendaraan untuk melabrak kekuasaan yang lalim berubah menjadi kendaraan orang berkepentingan didalamnya.

Kondisi ini punya implikasi pada penjualan ideologi dikerangka perjuangan mahasiswa, ketika ideologi dan kebenaran tidak lagi dijadikan acuan bergerak menemui peradaban dan hanya dijadikan jualan untuk memperbanyak massa sehingga punya nilai jual bagi pemegang kepentingan. Proses kaderisasi tidak lagi berbicara tentang penguatan gerakan mahasiswa menentang kedzaliman melainkan ajang mencetak aktor politik dzalim baru yang siap menindas kelompok lainnya. Pergolakan itu terus berputar-putar diranah itu sehingga untuk mencapai substansi dari perjuangan menjadi klise dalam realitasnya.

Semua hal itu menjadi auto kritik bagi dunia kemahasiswaan untuk memperbaharui haluannya untuk bergerak dan menolak perjuangan yang penuh dengan intrik kepentingan didalamnya serta memangkas sekat diantara mahasiswa itu sendiri. Redaksi agen perubahan harus direkonstruksi ulang dan disesuaikan dengan kondisi hari ini, bahwa mahasiswa tidak boleh stagnan menjadi agen yang dititipi kepentingan, akan tetapi bergerak maju ke depan membangun satu perlawanan besar. Dalam artian mahasiswa harus menjadi pelopor perubahan yang mampu mengkaji dan menyusun arah serta haluan gerakan mahasiswa. Melepaskan diri dari romantisme sejarah mahasiswa terdahulu karena setiap masa punya tanggung jawab dan kondisi berbeda pula.

Tahun 1965 telah menjadi bukti bagaimana lembaga kemahasiswaan menjadi bagian tidak terpisahkan dari lembaga-lembaga politik, dimana lembaga kemahasiswaan menjadi anak dari partai politik menjalankan kepentingan politiknya. Hal ini seolah mengamini bahwa memang betul mahasiswa adalah agen, perubahan tidak berdasarkan lagi dengan nalar kritis tapi bagian tidak terpisahkan dari kepentingan para elit partai politik. Jangan sampai kondisi tersebut terulang kembali dikarenakan berjibaku dengan kata agen yang secara umum merupakan wadah titipan. Mahasiswa harus terlepas dari kurungan sempit tersebut dan bergerak maju menyusun ulang kerangka perubahan yang patut diperjuangkan, bukan lagi Kepentingan sekelompok orang yang tidak ada hubungannya dengan nasib orang kebanyakan.

Editor: Irma

You may like these posts