Peran Aktivisme Media Sosial Dalam Mengawal Moderasi Beragama

Peran Aktivisme Media Sosial Dalam Mengawal Moderasi Beragama


Penulis: Sahabat Ihza Maulina (Kader PK PMII Ki Ageng Ganjur)

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘aktivisme’ berarti kegiatan (para) aktivis. Sedangkan kata ‘aktivis’ itu sendiri adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya atau seseorang yang menggerakkan.  Aktivis media sosial berarti seorang penggerak konten-konten yang kreatif kemudian menyebarkan di dunia maya. Biasanya aktivis media sosial digerakkan oleh pemuda-pemuda milenial yang sudah mengerti terkait ilmu teknologi dan komunikasi. Dalam kaitannya menebarkan wacana moderasi beragama, peran aktivis media sosial sangat diperlukan. konten-konten yang positif akan meningkatkan kebaikan moral masyarakat.

Tidak menuntut kemungkinan, selain menyebarkan hal-hal baik, media sosial juga berpotensi menyebarkan konten-konten yang dapat merusak moral manusia. Sudah banyak kasus kejahatan yang terjadi di media sosial, salah satunya ada indikasi konten yang berbau intoleransi terhadap agama lain di Indonesia. Ujaran kebencian yang ada di media sosial dapat berdampak pada hilangnya kecintaan terhadap keragaman negaranya sendiri, hanya karena merasa mayoritas bukan berarti dapat menindas yang minoritas. Seperti yang terjadi waktu tanggal 27 November 2020 ada kasus serangan teroris di Gereja Pos Pelayanan Lewono Lembahtongoa, Sulawesi Tengah. Gedung tersebut dibakar habis oleh teroris, 6 rumah juga terbakar dan ada 4 jemaat yang meninggal dunia (persecution.org, 2020).

Munculnya website yang kerap menebar kebencian “hate speech” adalah fakta konkret bahwa internet menjadi sebuah lahan bagi kelompok radikal untuk melakukan aksinya. Dari kampanye-kampanye yang disebarkan kemudian muncullah generasi muda yang cenderung eksklusif merasa seolah mendapatkan suatu kebenaran dalam mengamalkan ideologinya untuk membenci, memusuhi, bahkan meruntuhkan negaranya sendiri, serta menganggap yang bertentangan adalah kafir. Saat ini media sosial telah dijadikan sebagai alat propaganda yang efektif, dan secara tidak langsung digunakan untuk melakukan perekrutan seseorang bergabung ke dalam kelompok radikalisme. Sementara ruang publik media sosial, nyatanya terus mendapatkan perhatian tersendiri bagi generasi muda. Salah satu yang menjadi perhatian bersama adalah, maraknya ujaran kebencian di media sosial. Ujaran kebencian inilah yang kadang ditelan mentah-mentah oleh sebagian pihak. Untuk itu diperlukan sebuah upaya dan komitmen bersama, untuk melawan radikalisme baik itu di media sosial maupun di lingkungan sekitar.

Persoalan-persoalan tersebut sudah saatnya menjadi agenda generasi muda Indonesia hari ini. Kita harus segera menyingsingkan lengan baju dan mencurahkan segala kekuatan untuk berkontribusi secara nyata dalam mengurai persoalan radikalisme. Di era modern ini, diperlukan strategi yang efektif untuk melawan radikalisme dan terorisme. Jadilah generasi muda yang menjadi agen perubahan dan penyeru kebenaran untuk bergerak. Mengaktualisasikan dengan pemahaman agama yang benar, yang berdiri pada posisi menolak radikalisme. Jika pada diri pemuda sudah paham untuk membedakan art kebenaran dan kesalahan, saatnya menjadi agen perubahan.

Proses menjadi agen perubahan tidaklah mudah, diawali dari keluarga dan lingkungan sekitar terlebih dahulu. Jika pemuda bisa melakukan hal tersebut, secara langsung telah meminimalisir calon pelaku radikalisme. Dan untuk melengkapi semua itu, pemuda juga harus menjadi penyeru kebenaran, jangan menjadi penyeru kebencian. Menyeru kebenaran dapat dilakukan dengan memanfaatkan media sosial. Menyebarkan konten perdamaian salah satunya. Generasi muda diharapkan menjadi generasi yang aktif, dan harus memberikan kontribusi positif bagi negeri ini. Jangan mau menjadi generasi pasif, yang bisa dipengaruhi oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan kedamaian di negeri ini. Tentu sebagai generasi muda kita perlu untuk menangkal radikalisme dan terorisme.

Peluang dakwah digital ini telah dibaca oleh Arus Informasi Santri Nusantara (AIS Nusantara) yang merupakan komunitas digital atau komunitas virtual (Rusli Nasrullah, 2014 : 139) yang menjadi wadah berkumpulnya para pegiat cyber media santri untuk mendiskusikan konten dan isu-isu yang sedang hangat dibicarakan dengan sentuhan khas santri dan pesantren, serta narasi Islam damai. Kegiatannya menggunakan media sosial sebagai media dakwah dengan sasaran generasi milenial. Keanggotannya dimotori oleh santri yang aktif di dunia virtual ataupun pegiat media sosial baik santri yang masih menetap di pesantren ataupun santri yang sudah keluar atau alumni pesantren.
Dengan demikian, adanya perpecahan yang terlihat dalam berita-berita tersebut dan juga terlihat secara langsung, maka aktivisme media sosial perlu menggerakkan komunitas sosial yang berkecimpung di dunia dakwah dengan prinsip moderasi dalam beragama. Kecepatan serta kemudahan akses internet membuat masyarakat cepat dalam menerima informasi. Sehingga dakwah moderasi beragama dapat tersalurkan secara menyeluruh dan mendunia.

Editor: Yakin
Foto: kindpng.com

You may like these posts