Inspirasi dalam Secangkir Kopi

Inspirasi dalam Secangkir Kopi


Penulis: Sahabat Novanda Sasongko Putra (Kader Corat Coret kom Doktor Nugroho Magetan)

Perkembangan kedai kopi di Indonesia beberapa tahun ke belakang sangatlah pesat. Tidak memerlukan data formal dari lembaga survei, fenomena maraknya kedai kopi di berbagai tempat telah menjadi bukti yang bisa dirasakan oleh berbagai kalangan termasuk kaum muda. Kedai kopi menjadi salah satu tempat favorit untuk berkumpul bagu kalangan muda mudi. Tak luput dari pandangan dan harus diakui bahwasanya kita, mahasiswa adalah bagian dari muda mudi itu. Kedai kopi dalam bahasa inggris coffe shop atau lebih sederhana kita sebut “warung kopi” telah menjadi tempat berbagai jenis mahasiswa dari kalangan manapun, kelompok manapun, organisasi apapun berkumpul tanpa memandang perbedaan. Seolah warung kopi telah menjadi penyetara dan artian nyata dari kalimat “pemersatu bangsa”. 

Menelaah ke belakang, kebiasaan ngopi muda mudi ini sudah ada sejak zaman Ir. Soekarno muda. Tahun 1921 di kota kembang Bandung, Soekarno muda yang kala itu adalah seorang mahasiswa begitu mencintai aroma kopi hitam pekat. Ngopinya pun bukan ngopi haha hihi begitu saja. Obrolan-obrolan kebangsaan selalu menjadi topik utama bersama para nasionalis lainnya. Romantisme Bung Karno kepada kopi dan pemuda begitu mendalam disampaikan melalui ungkapan penuh makna darinya, “Saya lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, dari pada kutu buku yang hanya memikirkan diri sendiri”. Lalu bagaimana dengan kalian? Termasuk golongan mana dari ungkapan Bung Karno tersebut?

Warung kopi mungkin kampus kedua bagi mahasiswa yang merasa terkekang di dalam kampus. Tidak dipungkiri memang, kegiatan yang ada di dalam kampus seolah menekan mahasiswa  menjadi "budak" akademis yang menelantarkan bahkan mematikan sikap kritis dan kepekaan yang seharusnya dimiliki mahasiswa. Di warung kopi manusia bebas memiliki pikiran seliar apapun namun paham tanggung jawab. Pembicaraan mulai dari ideologis, sosial, ekonomi, bahkan politik di bedah dengan banyak kepala. Dari sana akan diperoleh pelajaran berpikir, peduli, dan mengolah emosi hingga ditemukan jawaban hasil olah pikir dan olah rasa.Tidak ada hujatan keras tentang perbedaan, tidak ada sanksi tertulis tentang jiwa yang mencoba memetakan peradaban. 

Kafein dalam kopi bukan hanya sekadar membuat melek mata lahir, mata batin pun dibuatnya melek lebih luas. Dibuatnya otak bekerja mengidentifikasi lebih dalam isu-isu sekitar yang mengusik jiwa. Apapun masalahnya, bagaimana perkembangan isunya, dan siapapun pemimpinnya kedai kopi selalu menjadi tempat yang tak akan pernah basi informasi. Satu isu yang sama akan dibahas dari perspektif yang berbeda menurut sudut pandang dan latar belakang kehidupan yang general. Mulai dari sudut pandang bapak-bapak kampung yang menyampirkan sarung di leher sebelum berangkat ronda, hingga politikus berdasi merah dengan sepatu pantofel mengkilatnya, atau mungkin mahasiswa seperti kita dengan kantung mata tebal hitam mempesona sebagai saksi perjuangan mengejar akademis juga mengejar dunia aktivis.

Warung kopi seolah seperti institusi yang berdiri dari kebutuhan banyak orang. Kebutuhan sang penjual akan cuan, kebutuhan pecinta kopi akan hasratnya bercinta, kebutuhan golongan manusia haus diskusi, kebutuhan sosialita akan pemenuhan nafsu foto-foto kalimat bijak di cangkir kopi, hingga golongan politikus petinggi negeri. Institusi ini tidak memerlukan birokrasi yang rumit, tidak memerlukan syarat khusus jumlah pengikut instagram atau jumlah perolehan persen suara rakyat. Tidak pro kanan tidak pro kiri, bisa kontra kanan mungkin kontra kiri. Semuanya memiliki hak istimewa menyampaikan secara terhormat dan saling menghormati. Masalah sosial, ekonomi, budaya, politik hingga konsep Ketuhanan dapat ditemukan di antara nikmat seruputan kopi. Walaupun tak jarang gebrakan-gebrakan meja akibat perbedaan pendapat kadang tak dapat dihindarkan. Tapi percayalah itu adalah alunan bagian dari pemanis alami dari pahitnya kopi hitam pekat. 

Dari secangkir kopi hitam pekat dengan asap mengepul hingga mulai mendingin, diskusi indah antara satu sama lain tak terhenti sampai lahirlah pemikiran unggul.  Dari sudut warung kopi ini lah salah satu pemikiran tentang peradaban dimulai. Tentang untuk menjadi manusia tidak egois yang hanya berjibaku pada tugas akademis. Keluar dari zona manis mencari jalan menyirami jiwa kritis dengan logis walaupun agak mengkis-mengkis. Bukan tentang espresso atau cappuccino, robusta atau arabika, mahasiswa biasa atau aktivis kampus. Asal kau adalah pemuda yang luar biasa yang siap mengguncangkan dunia seperti kata Bung Karno, kau wajib duduk ngopi dan memikirkan negeri.

Editor: Riyan

You may like these posts