Demokrasi Amoral

Demokrasi Amoral


Penulis: Sahabat Yusran Haga (Kader PMII Sulawesi Utara)

"Kamu tidak dapat mengajari seseorang apapun, kamu hanya bisa membantunya menemukan apa yang ada dalam dirinya sendiri," demikian ujar Galelio Galilei, Ilmuwan Italia.

Barang kali petuah tersebut tepat bagi setiap diantara kita. Manusia sering tak menangkap ke-aku-an dalam dirinya. Artinya diseberang kedhaifan manusia, terdapat kekayaan kelebihan, kekuatan, bahkan kejeniusan. Terlebih dari sebatas kurang-lebih, ada moralitas yang menyanggah eksistensi manusia sebagai penelaah kemanusiaannya.

Moralitas itulah yang bakal membawa kekurangan dan kelebihan manusia itu. Moralitas tak ubahnya sebuah rasa, rasa yang tegak dalam kodrat dan kondisi yang semestinya. Ia tak menabrak realitas, tapi hadir sebagai kemantapan dalam realitas. Jika baik, ia akan mantap dengan moral kebaikan itu. Pun sebaliknya.

Akhir-akhir ini, bangsa kita melahirkan produk hukum yang dilematis. Produk yang membolehkan Eks napi korupsi berkesempatan untuk kembali berkontestasi dalam pemilu. (Daftar Caleg Tetap Eks napi korupsi, 12 caleg DPRD Provinsi, 26 Caleg DPRD Kabupaten/Kota, dan 3 caleg DPD). Lantas, cukup kah mereka kita biarkan begitu saja? (Sesuai UU Pemilu, mantan napi korupsi bisa nyaleg asalkan mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik).

Jawabannya, Tidak.

Setiap orang memiliki hak yang sama untuk tampil sebagai calon dalam pemilu. Tapi ingat, ada perahu yang membawanya (partai politik). Maka dalih HAM sebagai bentuk pembiaran bagi peserta eks Koruptor untuk kembali maju di pemilu adalah suatu bentuk hilangnya kedaulatan partai dalam menjaga wajah partainya. Artinya, jika partai politik secara sadar memilih mantan napi korupsi, maka secara sadar pula pemilih boleh menilai kemana arah partai politik tersebut berpihak.

Pertanyaannya, iyakah partai politik betul-betul memakai kewenangan rasionalnya itu? Jika tampilan pemilu masih berjalan dengan peserta eks. koruptor, maka kewenangan (rasional) partai politik tak diejawantahkan, fungsi pencegahan sebatas dagelan yang tak kunjung diseriusi, jargon anti korupsi sebatas penampilan luar saja.

Moralitas kering, kesadaran ditabrak oleh ambisi-ambisi itu. Jeruji tak melahirkan jera, justru kelemahan hukum membuat paradigma publik tak lagi percaya. Upaya ini harus dilakukan dengan segera mengunci dari hulunya (partai politik) sebab eks. Napi korupsi tak perlu di adili.

Kepercayaan diri untuk berubah sekedar jadi afirmasi untuk dijadikan persembunyian. Khutbahnya membius prilaku immoral untuk membalikkan paradigma masyarakat. Undang-undang sebatas dijadikan tempat berlindung, ambisi menguasi moralitas, publik dididik dengan celotehan-celotehan. Keburukan realitas dijadikan pembenar untuk mendukung kondisi dan kepentingannya.

Lazimnya eks. Napi koruptor mengejawantahkan hukum dengan moralotas rasa dan kesadaran untuk tak mengajari publik dengan figur-figur perampas tak bermoral. Maka publik harus diberi informasi semasif mungkin. Agar terus rasional dalam memilih. Sebab menyebar informasi ke publik bukan sebuah defimasi (Pencemaran nama baik), namun Notoir faiten (fakta yang diketahui publik dan yang bersangkutan sudah mengakui dan menjelaskan).

Butuh tangan-tangan kreatif untuk menelusuri berbagai motif. Kesadaran bersama perihal moralitas harus terus dikampanyekan secara aktif. Pelanggaran moral publik semestinya melahirkan kesadaran penebusan. Bukan justru berbuah ambisi baru dan hasrat buas untuk kembali berkuasa.

Saat yang lain sibuk dengan perkembangan
Mengapa politisi masih sibuk mencari aman
Keberlangsungan negara harusnya terus disokong
Agar masyarakat terajari untuk terus mendorong

Rasa harus tumbuh dalam diri setiap politisi
Saatnya publik terus diedukasi
Negara harus memfasilitasi tampilan figur ideal
Bukan malah jadi budak para pemodal

Moralitas publik harus terus diedukasi dengan informasi
Agar tak memberi kesempatan sedikitpun bagi para Eks napi korupsi
Figur bangsa sangatlah banyak
Hanya saja partai politik yang diam dan tertidur nyenyak

Ini bukan semata-mata soal hak perorangan
Tapi integritas bangsa sebagai taruhan
Nurani publik bukan barang dagangan
Kedaulatan mereka harus terus diutamakan

Bangsa ini lahir dari sebuah moral
Yang tak bisa ditukar oleh sekedar ambisi politik elektoral
Saatnya hukum terus ditegakkan
Bukan sebatas dijadikan tameng dan batu loncatan

Wakil rakyat bukan sekedar mereka yang pantas
Namun mereka yang telah teruji dengan moralitas
Maka para Eks napi koruptor harus dipangkas
Sebab luka publik tak cukup ditebus dengan dakwah-dakwah di pentas

Kondisi publik akan berbuah khawatir
Jika partai politik tak serius menyortir
Sudah saatnya publik diajak rasional
Sebab kedaulatan butuh hadirnya moral.

Lagi-lagi masyarakat menjadi kambing hitam dari adanya berbagai kasus tersebut. “Siapa suruh manggut-manggut saja saat pemilu”. Bagi rakyat, pemilu adalah pesta 5 tahunan. Tidak hanya untuk memilih pimpinan tetapi ajang untuk meraup keuntungan dari para calon-calon peserta pemilu. Mindset ini terbangun selama proses berlangsungnya pemilu di Indonesia.

Lalu sampai kapan rakyat mesti seperti ini? Tidakkah banyak mereka yang selalu meneriakkan keadilan pada pemimpin kita, tidakkah sudah banyak rakyat menjadi korban akibat haknya diambil secara paksa oleh korporasi besar. Dari berbagai kasus yang telah ada. kita mesti belajar, bahwa bangsa kita tidak kekurangan ilmu tetapi miskin moralitas. Kurang apalagi dari pelajaran-pelajaran itu.

Editor: Ihza

You may like these posts