Kartini Modern : Perempuan Berpendidikan, Why Not?

Kartini Modern : Perempuan Berpendidikan, Why Not?


Penulis: Sahabat Maghfirotul Firmaning Lestari (Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, UIN KHAS Jember)

“Rampaslah semua harta benda saya, asalkan jangan pena saya," R. A. Kartini. Kalimat tersebut merupakan suatu pengingat bagi kaum perempuan bahwasannya semua harta benda perempuan bisa saja tidak disetarakan tetapi tidak untuk merampas hak perempuan dalam hal mengenyam pendidikan. April merupakan bulan sakral terutama untuk kaum perempuan sebagai momen untuk mengenang salah satu pejuang emansipasi untuk perempuan yaitu R.A Kartini.

Benar kata Ir. Soekarno pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 1961. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa pahlawannya.” Kalimat itulah yang menjadi inspirasi untuk bangsa Indonesia agar dapat menghargai jasa-jasa para pahlawannya. 

Pada tahun 1870, kaum perempuan di Jawa tidak dapat bergerak leluasa di tengah masyarakat. Posisinya saja tidak setara dengan kaum pria. Sebelum menikah, perempuan harus mengalami masa pingitan. Hal tersebut memiliki tujuan untuk menjaga harkat dan martabat bagi kaum perempuan. Namun tidak dengan persepsi Kartini, ia menganggap hal tersebut merupakan ketimpangan dan juga diskriminasi terhadap kaum perempuan. Akhirnya Ia memilih jalan lain dan tidak ingin terkungkung dengan kultur daerah yang tidak mendukung perempuan untuk berkarya. Kartini mulai mengkritik ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam pendidikan. Pada masa itu, perempuan yang ingin maju justru dianggap tabu oleh masyarakat. Secara umum, pada masa itu perempuan termasuk sebagai kelompok yang terasingkan.

Sama dengan perempuan lain di masa itu, Kartini juga harus mengalami pingitan dari umur belia yakni setelah lulus dari sekolah dasar. Namun hal tersebut tidak menjadikan Kartini menciut dan tidak ingin maju. Justru sebaliknya, di dalam masa pingitan Kartini muda memilih untuk menjadi seorang pemikir maju. Ia tidak ingin pasrah dan menyerah pada keadaan. Berkat semangat untuk maju dan rasa ingin tahu yang tinggi membuatnya terkungkung pada tradisi feodal dan membawanya kepada perubahan budaya baru. Selama dipingit, ia memilih untuk menambah pengetahuan dan juga berkorespondensi dengan teman-temannya, salah satunya yaitu Estella Zeehandelar yang dikenal oleh Kartini pada tahun 1899 melalui redaksi Deholllandsce Lelie, yakni suatu majalah perempuan yang waktu itu dikenal dengan sumbangan karangan dan dalam bidang sosial dan sastra.

Kartini sangatlah mendambakan pendidikan untuk kaum perempuan. Berbagai upaya ia lakukan untuk dapat memperjuangkan kesetaraan bagi kaum perempuan. Menurutnya, perempuan harus menguasai seni, ilmu pengetahuan, ilmu kesehatan, dan lain yang lainnya. 

Ketika kita menelaah perjuangan R.A Kartini dalam memperjuangkan kaum perempuan, maka seharusnya hal tersebut menjadi inspirasi bagi perempuan di era modern untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin agar mereka memiliki wawasan yang luas. Namun ironinya, perempuan di era kini masih terjajah oleh stigma bahwasannya “Perempuan seharusnya tidak perlu berpendidikan tinggi, karena ujungnya akan tetap kembali ke dapur.” Sungguh ketika kita telaah secara mendalam tentunya stigma tersebut tidak benar adanya. Hal itu bisa dikatakan tidak benar karena penulis pernah menemui kalimat yang berisi, "Jika kau mendidik satu laki-laki maka kau akan mendapat satu orang. Jika kau mendidik satu perempuan maka generasi-generasi yang baru dan bermartabat akan lahir". Oleh karena itu, perempuan haruslah berpendidikan, karena dari merekalah akan lahir generasi-generasi yang akan melanjutkan estafet perjuangan bangsa. Singkatnya adalah perempuan merupakan peradaban suatu bangsa.

Meski demikian, terdapat kontruksi dari masyarakat yang menganggap bahwasannya perempuan adalah makhluk yang dikenal dengan sifat feminim, yakni orang yang lembut, perhatian, emosional, mengalah, beraninya dibelakang, bergantug, submisif, dan lain sebagainya. Sementara laki-laki dikenal dengan sifat maskulin, yakni ia kuat, gagah, perkasa, pemberani, tegas, rasional, terus terang, suka menantang, agresif, dan lain sebagainya. Hal tersebut kemudian mengundang banyak persepsi bahwasannya perempuan hanya memiliki tugas di dapur, kasur, dan sumur.

Padahal jika kita sadari bersama, perempuan tak hanya bisa seperti itu. Perempuan juga bisa rasional. Perempuan juga bisa tegas. Perempuan masa kini (modern) merupakan stake holder pembangunan. Oleh karena itu, pelaksanaan pembangunan haruslah menekankan pentingnya upaya pemberdayaan perempuan untuk dapat ikut memberikan masukan dalam perumusan serta pengawasan, sehingga mereka dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, tanpa suatu penindasan dalam bentuk apapun.

Pada Undang-Undang dasar 1945 mengamanahkan secara tegas bahwasannya setiap warga Indonesia memiliki hak yang sama. Tidak ada pembeda bagi perempuan dan laki-laki untuk berperan dan ikut serta dalam menyukseskan program-program pembangunan serta menikmati peran pembangunan secara proposional. 

Saat ini, perempuan memiliki banyak hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga dapat menjadi seorang pemimpin, salah satu contohnya adalah Gubernur Jawa Timur, Ibu Khofifah Indar Parawansa. Jadi masihkah ada alasan bagi perempuan modern untuk tidak maju dan hanya berdiam diri? Masihkah ingin terkungkung oleh stigma yang seharusnya tidak perlu dipikirkan oleh kaum perempuan modern? Mari menjadi Kartini Modern! Mari menjadi perempuan yang memiliki pemikiran radikal dan menghasilkan banyak inovasi untuk kemajuan.

Perempuan berpendidikan, Why not? Tidak ada yang salah karena perempuan adalah makhluk istimewa. Kita harus bangga menjadi perempuan. Perempuan adalah berlian yang sangat berhaga. Mereka juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki, yakni menjadi orang berpendidikan dan berwawasan luas.

Benar kata R.A Kartini, “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya tanpa berhenti menjadi perempuan sepenuhnya”. Kita harus bangga menjadi perempuan karena perempuan adalah peradaban suatu bangsa yang akan melahirkan generasi emas dan nantinya akan semakin memajukan bangsa Indonesia.

Sedikit cuplikan dari buku Kartini karya Anom Whani Wieaksana (2019) yakni semangat Kartini pada masa kini tidak boleh hanya dipersempit sebatas menjadi perempuan cerdas yang mampu berkarier dan dapat menjaga tata kramanya sebagai perempuan serta kembali pada takdirnya yakni menikah, lalu mengurusi anak dan suami. Kartini yang seharusnya dihayati bukan lagi Kartini yang hadir dalam penjelmaan fisik berupa kebaya dan konde, diskon di mal. Kartini yang perlu dibayangkan kehadirannya pada diri dan kehidupan kita sehari-hari adalah Kartini yang berpikir dan bertindak mandiri.

Tak terasa telah berada di penghujung paragraf, perlu kita sadari bersama bahwasannya perempuan masa kini tentunya perlu menyingkirkan berbagai pemahaman masa lalu bahwasannya perempuan itu lemah. Pada zaman serba maju ini perempuan haruslah berpikiran maju diiringi tekad yang kuat untuk bisa semakin eksis dan bermanfaat bagi banyak orang. Tidak perlu memikirkan stigma tentang perempuan yang seharusnya tidak perlu berpendidikan. Mari menjadi Kartini modern yang dapat menciptakan revolusi. Buktikan kepada mereka yang masih terkungkung pemahaman masa lalu bahwasannya pendidikan itu penting bagi semua orang, terutama untuk yang melahirkan peradaban yakni perempuan.

Editor: Riyan

You may like these posts