Melirik Data Dan Melihat Realita Keterlibatan Perempuan dalam Pembangunan Demokrasi

Melirik Data Dan Melihat Realita Keterlibatan Perempuan dalam Pembangunan Demokrasi


Penulis: Zumrotun Nafisah (Perempuan Pasuruan)

Gelaran pesta politik lima tahunan selalu mengusung tema-tema pembangunan sebagai iming-iming dalam meraup partisipasi masyarakat untuk terlibat. Upaya pemerintah dalam hal pembangunan demokrasi dan politik juga terus diglorifikasi. Namun, apakah upaya-upaya mencapai kedewasaan demokrasi kita sudah memerhatikan dengan baik tiga aspek demokrasi, yaitu Kebebasan Sipil (Civil Liberty), Hak-Hak Politik (Political Rights), dan Lembaga-lembaga Demokrasi (Institution of Democracy).

Tentu saja subjek dan objek dari aspek demokrasi ini adalah seluruh manusia. Apakah kemudian keterlibatan perempuan masih menjadi perkara yang terus diupayakan dan butuh diglorifikasi? Padahal apabila melihat jumlah pengguna hak pilih pada pemilu presiden tahun 2019, dari keseluruhan total 158.012.499 pengguna hak pilih, sebanyak 80.849.808 diantaranya adalah perempuan, jumlah tersebut jika diprosentasekan senilai 51,17% lebih dari setengah pengguna hak pilih. Sementara itu, dari daftar pemilih tetap yang dirilis KPU pada 27 Oktober lalu, di Pilkada 2020 terdapat sebanyak 100.359.152 pemilih. Terdiri atas 50.164.426 jiwa atau 49,98% pemilih laki-laki dan 50.194.726 jiwa atau 50,02% pemilih perempuan. Artinya, perempuan melampaui setengah dari jumlah pemilih Pilkada 2020.

Selain data tersebut, data KPU juga merilis, sebanyak 159 perempuan maju sebagai kontestan pilkada dari total 1.482 calon yang ada, atau setara 10,73%. Meliputi 2 calon gubernur, 3 calon wakil gubernur, 70 calon bupati, 58 calon wakil bupati, 15 calon wali kota, dan 11 calon wakil wali kota. Padahal pemilihan terlaksana di masa pandemi, hal tersebut tidak mengurangi animo perempuan dalam keterlibatannya di ruang-ruang politik. Meski tidak banyak, angka itu melampuai jumlah perempuan calon di pilkada-pilkada sebelumnya.

Dari data tersebut dapat dilihat bagaimana antusiasme perempuan dalam partisipasinya memberikan suara dalam pesta demokrasi kita, bahkan nampak mengambil peran dalam gelaran tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah hal ini cukup? Atau, apakah setelah ini dorongan atas partisipasi perempuan dalam pembangunan demokrasi kita sudah selesai? Tentu saja kita ingin percaya bahwa keterlibatan perempuan dalam penggunaan hak pilihnya menjadi data yang bermakna dan bukan kesia-siaan.

Namun, setelah melakukan refleksi mendalam terhadap realitas yang terjadi di antara animo pesta-pesta demokrasi, kita akan mendapati keadaan memilukan mengenai partisipasi perempuan yang dianggap sebagai representasi belaka. Tinggalkan dulu data yang membuat marem mengenai loyalitas perempuan yang lebih giat berbondong-bondong datang menggunakan hak pilihnya di TPS sehingga menghasilkan angkat lebih dari 50% itu. Mari kita pikirkan lagi misalnya, angka 30% keterwakilan perempuan dalam partai politik yang maju dalam pagelaran pemilihan anggota dewan. Benarkah yang 30% itu berangkat dari kesadaran penuh perempuan untuk menjadi representasi dirinya yang memiliki hak-hak politik ataukah hanya titah partai untuk mengusung calon di urutan nomor 1 partainya? Lalu, apakah keberhasilan perempuan dalam menduduki posisi strategis sebagai hasil dari ‘pertarungan’ politik praksis kita telah menjadi sambung lidah dan tangan perempuan lainnya? Apakah proses demokrasi kita yang menjadi pondasi pembangunan negara dan masyarakat telah mampu mengantar perempuan melakukan partisipasi tanpa dicurangi dan hanya ditunggangi suaranya?
Dalam kehidupan patriarkal kita, nyatanya keraguan-keraguan yang mewujud pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan tanpa dasar. Perwujudan partisipasi perempuan sebagai subjek dan objek pembangunan negara nyatanya memiliki tantangannya sendiri di negara dengan masyarakatnya sebagai anak kandung patriarki. Misalnya, marginalisasi perempuan, Parta politik masih kurang yakin perempuan mampu menjadi vote getter dan menaikkan elektabilitas. Asumsi ini tentu berkaitan dengan keterbatasan perempuan dalam kapital, baik finansial maupun social. Hal ini terjadi sebagaimana sedikitnya perempuan yang berada di nomor urut satu dalam daftar calon legislatif di masing-masing partai politik. Karena pada akhirnya Implikasi dari penerapan afirmasi pencalonan perempuan sekadar menjadi pemenuhan syarat administratif, sulit ditemui upaya afirmasi di internal partai.

Kuantitas dan kualitas keterwakilan perempuan tak berbanding lurus karena advokasi kesetaraan tak banyak diupayakan kepada parpol. Kesetaraan adalah kata ganti dari demokrasi sehingga membedakannya dengan sistem politik lain. Sedangkan parpol, merupakan lembaga utama demokrasi yang juga membedakannya dengan sistem politik lain. Kita sibuk mengafirmasi perempuan melalui redaksi pasal/ayat yang menyimpang dari positivistik equality before the law tapi terkesan membiarkan parpol makin diskriminatif. Bagaimana mungkin cita kesetaraan dalam afirmasi perempuan bisa dicapai jika para perempuan disuplai dari parpol yang tak demokratis?

Demokratisasi UU Pemilu sejak Reformasi hingga kini luput menjaga kelembagaan dan ekosistem parpol yang demokratis. Reformasi menghasilkan banyak kelembagaan negara lebih demokratis tapi kelembagaan utama demokrasi, yaitu parpol malah dilupakan.

Lalu apakah upaya peningkatan partisipasi perempuan yang dikuatkan melalui kebijakan 30% representasi perempuan menjadi hal yang keliru? Sejauh ini terdapat 57 negara yang masuk daftar pengguna afirmasi perempuan melalui sistem pemilu. Persentase keterwakilan perempuan tertinggi dicapai Bolivia dengan 53,08 persen dari 130 kursi DPR (house of representative). Sedangkan yang terendah adalah Kepulauan Solomon, dengan 6,1 persen dari 49 kursi. Dan, rataan persentase keterwakilan perempuan dari 57 negara ini adalah 27 persen. Peringkat dalam tulisan ini hanya menyertakan DPR tanpa senat karena tak semua negara menerapkan parlemen bikameral.

Selama ini, angka 30 persen dianggap sebagai jumlah minimal keterwakilan perempuan yang representatif secara jumlah. Kita tahu, untuk mengesahkan undang-undang dibutuhkan 50%+1 anggota dewan. Setidaknya jumlah 30 persen perempuan dari total kursi DPR bisa mempertahankan dan mempengaruhi agenda perempuan dari suatu undang-undang. Jika merujuk daftar 57 negara itu, afirmasi perempuan melalui pemilu yang tertuang dalam undang-undang bahkan konstitusi, tak menjamin pencapaian persentase minimal. Oleh karenanya, masih menjadi PR bagi gerakan-gerakan perempuan dalam memastikan kualitas demokrasi kita terutama dalam gelaran pesta demokrasi lima tahunan, bahwa partisipasi perempuan memilki makna yang bernilai. 

Tentu saja, kita tidak ingin pesta demokrasi kita menjadi jagat pameran partai politik yang seolah menjadi tumpuan bagi perempuan dalam merebut akses politiknya, dan membiarkan pertarungan-pertarungannya menjadi bahan guyonan seksis tanpa subtansi. Yang pada akhirnya justru keterwakilannya dalam daftar administrasi benar-benar hanya bagian dari persyaratan saja. Atau tentu kita tidak menginginkan animo dan loyalitas perempuan dalam partisipasi demokrasi dengan penggunaan hak pilihnya berbanding terbalik dengan kebijakan-kebijakan yang lahir dari pimpinan perempuan yang hanya menjadi representasi partai dan merem terhadap kepentingan perempuan lainnya.

Editor: Shomim

You may like these posts