Bias Pandangan Masyarakat Terhadap Perempuan Keterbelakangan Mental

Bias Pandangan Masyarakat Terhadap Perempuan Keterbelakangan Mental


Penulis: Sahabat Nur Agustiningwati (Ketua KOPRI ITSNU Pasuruan)

Alasan saya memilih judul tersebut karena dilatarbelakangi dengan realita yang terjadi di lingkungan sekitar. Perlu diketahui penulis disini membahas 2 jenis kelamin sekaligus, tetapi penulis hanya mengambil sampel yaitu perempuan dan kebanyakan yang dituliskan oleh penulis adalah contoh perempuan keterbelakangan.

Tidak jauh-jauh terkadang ketimpangan itu terjadi pada masyarakat sekitar rumah, entah didalam keluarga sendiri ataupun sanak keluarga dan tetangga. Tulisan ini lahir dari ketidaknyamanan memandang kakak perempuan saya dalam menghadapi permasalahan yang terjadi didalam dirinya, dan itu murni sudah dianugerahkan oleh tuhan kepadanya. Kakak saya yang merupakan bisa dikatakan keterbelakangan mental juga menghadapi tekanan-tekanan disekitarnya. Salah satunya dengan kata-kata yang terlontar atau lebih tepatnya olokan yang diucapkan orang-orang kepadanya. Salah satu lontaran kalimat yang diucapkan kebanyakan orang-orang bahwa dia memang seorang perempuan yang agak sedikit tidak tegas, masih kekanak-kanakan dan semacamnya yang mengarah pada kekurangan-kekurangan yang memang sudah diberikan kepada sang pencipta.

Kakak saya tidak pernah memilih ia harus lahir seperti apa, entah itu normal ataupun sebaliknya.  Melihat hal tersebut saya mencoba berbicara dengan gaya santai tapi bernilai wawancara. Dengan sedikit susah berbicara dengan kakak saya yang memang notabennya adalah sosok pendiam. Saya dengan sabar menunggu jawaban-jawaban yang bisa dia ucapkan dengan susah payah. Ketika mendengar ucapan kakak perempuan saya, saya merasakan sangat sakit dan terharu ketika muncul kata malu pada bibir mungilnya ketika saya bertanya, apakah yang dia rasakan ketika kebanyakan orang memandangnya perempuan dengan mental keterbelakangan. Ini menjadi hal penting yang harus dipandang oleh masyarakat, khususnya sesama perempuan. Bahwa kita harus menanamkan pada pola pikir kita entah itu dari kalangan akademis, aktivis, maupun orang biasa bahwa perempuan dengan mental keterbelakangan adalah bagian dari masyarakat. Mereka memiliki perasaan. Sehingga dengan kebanyakan seseorang mengeluarkan kata-kata olokan yang kadang tidak disadari itu, perempuan keterbelakangan itu menarik diri untuk tidak mencoba bersosialisasi dengan sekitarnya. Dan itu dirasakan oleh kakak perempuan saya, dia mencoba menarik diri dari teman-teman sebayanya dan dari tetangga-tetangga karena dia merasa malu. 

Karena tidak bisa mengekspresikan perasaannya, perempuan itu memilih untuk diam dan tidak mau sama sekali berbicara tentang perasaannya. Terkadang kita sebagai sesama perempuan yang notabennya normal, sudah seharusnya mempunyai inisiatif untuk mencoba bersosialisasi dengan mereka perempuan-perempuan keterbelakangan mental itu. Kita tidak bisa membiarkan mereka hanya berdiam diri dan tidak mempunyai teman yang diajaknya berbicara atau bermain. Saya tekankan sekali lagi bahwasannya dia juga manusia dan bagian dari masyarakat. Kita terlalu fokus dengan gerakan feminisme yang menggaung-gaungkan tentang keseteraan, sehingga terkadang lupa dengan kodrat kita seharusnya. Bahwa perlu ditekankan setara atau adil tidak harus sama, tapi sesuai porsinya masing-masing. Sehingga terkadang kita lupa bahwa ada juga perempuan yang harus kita bersamai. Yaitu perempuan dengan segala keterbelakangan mental ataupun fisik.

Saya mencoba mengajak para pembaca untuk sadar dengan sesama mereka. Bahwa nilai-nilai kemanusiaan kita terhadap perempuan khususnya perempuan keterbelakangan  ataupun dengan laki-laki keterbelakangan mental dam fisik masih pincang. Dan kemanusiaan akan terus pincang apabila kita menindas terhadap yang lemah. Kesejahteraan masyarakat bisa tercapai jikalau manusia-nya bergandeng tangan saling menguatkan. Sekian.

Editor: Irma
Gambar: suara.com

You may like these posts