Modifikasi Ajaran

Modifikasi Ajaran


Penulis: Sahabat Yusran Haga (Wakil Sekretaris PKC PMII SULTRA)

Ketidakdewasaan beragama mengakibatkan cara berfikir fatal. Biasanya cenderung merespon dan menyikapi berbagai problem dengan kacamata yang tak waras. Agama dianggapnya sebatas tampilan, kumandang suara, dan poster-poster. Akibatnya agama sering gagal menyelesaikan pesoalan mendasar kemanusiaan. Seperti keadilan, kemiskinan, kebodoham dan lain-lain.

Pun keberadaan agama sering kontradiktif dengan praktek beragama yang semestinya. Meski dalam agama banyak sekali hukum-hukum dan dogma, tapi hukum tidak boleh tunduk pada agama yang melanggar kemanusiaan. Apapun motif dan prilakunya. Asas mendasar adalah menjaga kemanusiaan tanpa ada tendensi nilai keagamaan. Agama adalah wahana membuka dan menumbuhkan nilai luhur hidup, ia sejatinya melahirkan kebijaksanaan dan tak pernah mengajarkan hujatan, penghakiman, dan kekerasan. Apalagi menyalah-nyalahkan.

Menurut kawan saya, agama tak lain adalah sebuah keteladanan. Ia mengutamakan prilaku bukan ujaran dan khutbah-khutbah. Dalam Ta'limul muta'allimnya syekh az-zarnuji yang masyhur dinyatakan, "Lisanul haal afshokhu min lisanul maqol". Maka jelas Agama tanpa keteladanan dan prinsip kemanusiaan hanya sekedar deretan janji gombal atau ancaman yang tak pernah terbukti menyelamatkan kehidupan atau menyejahterakan manusia.

Pun agama tak sekedar doktrin. Jika konsep agama hanya penuh dengan doktrin, maka keberadaannya jelas menghambat manusia untuk mengembangkan eksistensinya sebagai makhluk yang berakal. Maka konsep Tuhan adalah yang mengajarkan tentang arti kebebasan kehendak sekaligus kontrol kebebasan yang ada pada manusia sendiri melalui akal pikiran. Bukan karena belenggu kewajiban dan ketundukan atas perintah agama yang membatasi kehendak manusia untuk bergerak. Ujar Friedrich Wilhelm Nietzsche, seorang Filsuf Jerman.

Diluar ajaran agama ada kebebasan yang tak cukup diselesaikan dengan agama. Maka kehidupan manusia dengan agama sejatinya korelatif horizontal bukan tendensi yang vertikal. Bagi Sayyed Hossein Nasr, manusia adalah satu-satunya makhluk teomorfis dan eksestensialis. Manusia dibekali alat bukan hanya untuk berkembang dan berkehendak, namun juga merayap dan menyeimbangkan nilai-nilai sesuai perkembangan dirinya diberbagai macam aspek. Sehingga hubungan agama dan kehidupan manusia bukan seputar doktrin, tapi juga menjadi korelasi aktif.

Sebagai makhluk yang eksistensialis tadi, manusia sadar bahwa kebenaran bersifat relatif. Dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Hal tersebut menyimpulkan bahwa sebenarnya manusia itu bebas, bebas menentukan kebenaran menurut dirinya tanpa harus mendobrak nilai moral yang ada pada agama. Maka tak masuk akal jika hidup beragama hanya digunakan sebagai alat pemaksa orang lain agar sama dengan kita. Sebab agama itu demokratis. "Memaksakan kebenaran pada orang lain adalah cara yang tak rasional, meskipun isi kandungannya sangat rasional." Ujar Gus Dur. Disinilah letak keberadaan otoritas hidup personal kemanusiaan yang sejati.

Dalam berbagai praktek kehidupan, agama wajar digunakan sebagai kontrol dalam berbagai problem realitas. Sebab agama diimani, dirasakan, dan integral dengan setiap ruang gerak hidup. Sejatinya agama bukan tak menganjurkan agar memelihara idealitas agar mantap dan utuh dalam posisinya. "qulil haqqa walau kana murran" (katakan kebenaran itu meski pahit rasanya).Kebenaran haruslah disuarakan dan ditegakkan. Tapi ingat, sabar di dalam perjuangan penegakan kebenaran itu perlu tekun, sabar, dan konsistensi yang kuat (wa-tawa shabil haq wa-tawa shabis-shabr). Tentunya dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebab sekali lagi, agama tak sekedar kumandang yang semacam karaoke lalu membisingkan telinga itu. Agama harusnya mendekat ke ruang realitas hidup manusia dengan wujud prilaku. Agama bukan penentang perkembangan realitas kebudayaan. Sejatinya ia adalah sebuah perwujudan penangkap perkembangan hidup. Agama harus selalu hadir dengan kesabaran, kebijaksanaan dan kesungguhan dalam menyikapi berbagai perkembangan. Bukan justru menjadi musuh bagi realitas. Agama bukan alat bertanding dengan agama lain. Agama bukan sarana untuk membanding-bandingkan. Pun tidak sebagai alat selesi baik-buruk dan benar-salah. Ia tak lain sebatas wahana untuk saling menyelamatkan dan memberikan kenyamanan bagi sekitar. Adalah salah dan konyol jika agama dikedepankan sebagai alat menghakimi berbagai persoalan. Apalagi agama hanya sebatas dikumandangkan. Di kolom majalah Tempo tahun 1982 Gusdur pernah menulis "Islam Kaset dan Kebisingannya". Dalam kolomnya itu, Gus Dur mengeluhkan suara-suara bising dari masjid pada dini hari. Suara-suara bising itu bukanlah esensi nilai keberagamaan. Serat Gus Dur.

Mestinya pandangan dan dogma agama diwujudkan secara kreatif. Pun harus dihayati dengan kearifan untuk dapat dioperasionalkan secara tepat. Sebab agama hadir sebagai penjawab setiap kegelisahan terdalam kemanusiaan dalam berbagai perubahan ruang dan waktu.

Modifikasi pandangan dan praktek keagamaan bukan tak pernah diserukan. Sebagaimana tertuang dalam salah satu kaidah “al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah”. (menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik). Jelas ini merupakan ruang kontekstualisasi sebagai bentuk pengembangkan sejumlah khazanah-khazanah keislaman yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan serta kontekstualisasi penyelarasan dengan segala yang baru dalam setiap perubahan.

Lalu dalam menyikapi berbagai persoalan tersebut, teks suci mengidentifikasi tipologi kelompok manusia dengan term “ummatan wasathan” yakni kelompok yang punya karakteristik moderat dengan sikap-sikap moderasi sebagai ciri utamanya dalam menghadapi berbagai konflik, dan konfrontasi yang disebabkan karena perbedaan. (QS. Al-Baqarah: 143)

Dengan demikian, modifikasi ajaran, sikap imajinatif, serta cara berfikir yang kontekstualis jelas telah diserukan dan diajarkan, bukan?

Buton, 26 Juli 2022.

Editor: Waty

You may like these posts