Kilas Balik Sang Pendekar Pena: Mahbub Djunaidi

Kilas Balik Sang Pendekar Pena: Mahbub Djunaidi


Penulis: Muhammad Naufal Rofif (Anggota Bidang 2 PMII Komisariat UMM)

Perkembangan berbagai cabang keilmuan terus meningkat seiring bertambahnya usia zaman khususnya di Indonesia. Banyak lahir dan bermunculan tokoh-tokoh yang menginspirasi dan juga membawa revolusi bagi negeri. Di kalangan mahasiswa sendiri lebih khususnya mahasiswa yang berproses di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tentunya sudah tidak asing lagi dengan Sang pendekar pena yaitu sahabat Mahbub Djunaidi, seorang Jurnalis, Sastrawan, Organisatoris, dan lain-lain. Raganya sudah tiada, namun namanya masih harum di tengah-tengah PMII yang usianya sudah menginjak 62 tahun ini.

Sejenak kita kembali mengingat sosok Mahbub Djunaidi yang mana di dalam PMII beliau adalah Ketua pertama PB PMII sekaligus pencipta mars PMII yang kerap kali dinyanyikan ketika acara-acara formal. Beliau kelahiran Jakarta pada tanggal 27 Juli 1933, perlu diketahui bahwasanya ketika beliau masih duduk di bangku Sekolah Dasar kegemarannya dalam hal menulis dan membaca mulai kelihatan. Hal itu dibuktikan ketika beliau sering menulis puisi-puisi, dan istimewanya adalah buku-buku yang dibacanya bisa dikatakan bukan buku bacaan yang seharusnya dibaca oleh anak SD pada umumnya. Diantara buku-buku yang dibacanya adalah karya Mark Twain, Karl May, dan tokoh-tokoh besar lainnya.

Tidak berhenti di situ, kepiawaiannya dalam hal menulis terus meningkat, ketika duduk di bangku SMA beliau sering menulis sajak, cerpen, esai, bahkan tulisan-tulisannya banyak dimuat di media-media seperti koran, majalah, dll. Karena hal itulah beliau diberikan amanah menjadi Pimpinan Redaksi Duta Masyarakat (1958-1960) juga menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat pada tahun 1965-1970. Beliau juga sering menulis di kolom-kolom dengan berbagai pembahasan terkait isu-isu realitas sosial, kritik politik pada masa itu, dengan gaya bahasanya yang sangat karakteristik yaitu tajam namun diselipi dengan gaya bahasa yang humoris sehingga bisa membuat daya tarik terhadap masyarakat untuk bisa meresapi dan memahami tulisannya, karena memang beliau menyesuaikan masyarakat pada masa itu.

Berangkat dari kebiasaannya menulis, akhirnya beliau banyak menerbitkan buku-buku, diantaranya kolom demi kolom, angin musim, humor jurnalistik, dll. Bahkan ada satu tulisannya di kolom yang akhirnya membuat Bung Karno takjub terhadapnya. Di dalam tulisannya, Mahbub berstatement bahwasannya Pancasila lebih agung dari Declaration of Independence yang mana itu adalah penyataan kemerdekaan Amerika Serikat yang disusun oleh Thomas Jefferson. Karena hal itulah kemudian Bung Karno meminta KH. Saifuddin Zuhri yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Kementrian Agama untuk mendatangkan Mahbub Djunaidi ke Istana Merdeka. Dari pertemuan itulah kemudian terjalin hubungan baik antara Bung Karno dengan Mahbub Djunaidi. 

Memang terkadang dari sebuah tulisan ataupun karya-karya yang lain bisa membawa kita kepada hal-hal baik, seperti halnya kisah Mahbub Djunaidi tersebut. Namun juga perlu kita pahami bahwasannya kita juga jangan terlalu ofensif karena bisa saja berdampak buruk kepada diri kita sendiri. Hal itu pernah dialami oleh Mahbub Djunaidi dimana ada salah satu tulisannya yang tajam dan dapat dikatakan mempengaruhi public opinion sehingga beliau harus menginap di balik jeruji Nurbaya. Karena memang pada saat itu kebebasan menyatakan pendapat sedang dicekik dan teror mental sedang merajalela dalam segala bentuknya.

Namun hal itu tidak membuat beliau berhenti untuk terus berkarya, selama di balik jeruji beliau tetap melakukan kebiasaannya seperti membaca dan menulis. Bahkan ketika beliau dijenguk keluarganya, beliau meminta untuk dibawakan nasi padang yang di bungkus koran agar bisa tetap membaca. Keluarnya beliau dari penjara, kondisi kesehatannya mulai menurun, bahkan selama di penjara beliau sudah mulai sakit hingga harus dirawat di Rumah Sakit. Karena hal itu akhirnya beliau harus melepas semua jabatan yang diembannya pada masa itu, dan beliau hanya fokus sebagai kolumnis serta melanjutkan kiprahnya di bidang sastra, bahkan intensitas menulisnya semakin tinggi, hingga pada akhirnya beliau istirahat untuk selamanya. Beliau wafat pada tanggal 1 Oktober 1995 di usianya 62 tahun.

Banyak pelajaran yang dapat kita teladani sebagai kader PMII dari seorang Mahbub Djunaidi yaitu kegigihannya untuk terus membaca dan menulis dalam kondisi apapun dan situasi yang bagaimanapun, ada satu ungkapan yang menginspirasi dari beliau bahwa “Saya akan menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu lagi menulis”. 

Terimakasih untuk sang pendekar pena sahabat Mahbub Djunaidi yang telah berusaha menjadikan organisasi PMII sebagai wadah pembentukan kader serta membawa dan memperjuangkan nama baik PMII, walaupun dirimu sudah tidak lagi membersamai kami, namun karya dan perjuanganmu akan terus bersemayam di tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ilmu bukan untuk Ilmu, tapi Ilmu untuk Amal.

Editor: Solifa

You may like these posts