Membaca Kejanggalan Putusan MK Mengenai Gugatan Batas Usia CAPRES dan CAWAPRES

Membaca Kejanggalan Putusan MK Mengenai Gugatan Batas Usia CAPRES dan CAWAPRES


Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang pengucapan putusan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di ruang sidang pleno, Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Pasal yang digugat mengatur soal batas usia minimal capres-cawapres, yakni 40 tahun dan tidak mengatur batas usia maksimal capres-cawapres.
Pasalnya, gugatan tersebut dilayangkan oleh kakak beradik mahasiswa hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) bernama Almas Tsaqi Birru dan Arkaan Wahyu anak Koordinator MAKI Boyamin Saiman. Sebelumnya, MK memutuskan mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam sidang pengucapanya pada sidang putusan di Gedung MK (Senin, 16/10/2023), MK yang dipimpin oleh Saldi Isra memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagaian. MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 tahun dan atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Ini berarti siapapaun yang belum berusia genap 40 tahun pada saat pencalonan presiden-wakil presiden asalkan sedang atau pernah menjabat sebagai kepala daerah gubernur/bupati/walikota berhak dan bisa maju sebagai kandidat capres-cawapres asalkan diusulkan oleh parta politik atau gabungan partai politik.

Timbulnya putusan tersebut menuai pro-kontra di masyarakat, pakar hukum, hingga akademisi sekalipun. Pasalnya, MK sebelumnya pernah menerima gugatan yang sama mengenai batas usia capres-cawapres namun selalu ditolak. Pada 9 Maret 2023 Partai Solidaritas Indonesia yang diwakili oleh Dedek Prayudi, Anthony Winza Prabowo, Danik Eka Rahmaningtyas, dan Mikhail Gorbachev Dom MK mengajukan gugatan ke MK mengenai perminataan batas usia minimal capres-cawapres diturunkan dari semula 40 tahun menjadi 35 tahun. Namun perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 ditolak oleh MK. Kemudian MK juga menolak MK juga menolak permohonan yang ingin mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. Terdapat dua perkara sama yang diajukan dua pemohon. Pertama, perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda diwakili Ketua Umum Ahmad Ridha Sabana dan Sekjen Yohanna Murtika sebagai pemohon.

Kedua, perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak sebagai pemohon. Dan terakhir MK menolak gugatan yang diajukan oleh Melisa Militia Christi Tarandung yang ingin mengubah batas usia minimal capres-cawapres yang semula 40 tahun menjadi 25 tahun. Permohonan itu terdaftar dengan nomor 92/PUU-XXI/2023.

Lalu disini pertanyaanya, kenapa MK bisa mengabulkan sebagaian gugatan yang diajaukan oleh oleh salah mahasiswa asal Surakarta yaitu Almas Tsaqibbirru pada Senin (16/10/2023) kemarin. Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.

“Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dan calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun,” terang Guntur.

Namun ternyata beberapa kejanggalan terjadi pada putusan MK dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 ini. Dari mulai materil, prosedur, serta inkonsistensi putusan MK. Pertama, dari aspek materiil, MK justru menuruti keinginan DPR dan pemerintah. Sebab, dalam putusan 90/PUU-XXI/2023, MK telah melepaskan predikat kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi checks and balances. Alhasil, MK terkesan menjadi alat politik DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan UU secara instan dan tidak melibatkan partisipasi publik. Kedua, MK bersikap inkonsisten. Pasalnya, para hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon secara drastis berubah pandangan. Para hakim tersebut sebelumnya menolak tegas permohonan pemohon dalam putusan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan pengujian bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy. Namun, dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, yang secara substansi mempersoalkan pasal yang sama, malah mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan memberikan tambahan norma baru pada syarat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). 

Ketiga, dari aspek prosedur. Menurutnya, terdapat anomali. Sejatinya, perkara-perkara tersebut sudah selesai di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pasca tiga perkara pertama selesai diperiksa. Namun, MK menunggu dua perkara lainnya masuk yaitu perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023 dengan alasan agar diputus berbarengan. Dalam dissenting opinion Hakim Konstitisi Prof Arief Hidayat menyebut perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023 pernah dinyatakan dicabut oleh kuasa hukumnya dengan surat bertanggal 26 September 2023 pada Jumat, 29 September 2023. Tetapi pada Sabtu, 30 September 2023 Pukul 20.36 WIB, pemohon membatalkan pencabutan perkara. Kejanggalan pencabutan perkara ini terdapat perbedaan waktu penerimaan dan nama petugas penerima surat pembatalan pencabutan perkara antara keterangan kuasa hukum pada persidangan Senin 3 Oktober 2023 dengan waktu yang tertera pada Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS). 

Editor: Bahtiar, Penulis: Ahmad Nur  Khozin (Komisariat Ki Ageng Ganjur UIN Gusdur Pekalongan) 

You may like these posts